Menakar Toleransi Antar Umat Beragama dalam Pandangan Muhammadiyah
PWMJATENG.COM, Surakarta – Kajian Tarjih daring yang diadakan oleh Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) kembali menjadi ajang diskusi penting terkait isu keberagaman. Kali ini, Biro Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) UMS menggandeng jaringan Majelis Tarjih Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah untuk membahas tema “Hubungan dan Toleransi Antar Umat Beragama: Pemahaman Batas-Batasnya.”
Diskusi yang berlangsung pada Selasa (17/12) ini menghadirkan Syamsul Hidayat, Ketua Majelis Tarjih PWM Jawa Tengah sekaligus Dekan Fakultas Agama Islam (FAI) UMS, sebagai narasumber utama. Dalam paparannya, Syamsul memadukan perspektif fatwa tarjih dengan pendekatan tajdid untuk mengupas isu hubungan antarumat beragama di Indonesia.
Syamsul menjelaskan, toleransi merupakan aspek fundamental dalam menjaga harmoni masyarakat majemuk seperti Indonesia. Namun, ia menegaskan perlunya memahami batas-batas yang sesuai dengan ajaran agama. “Dalam konteks liburan akhir tahun, yang kerap bersinggungan dengan hari besar agama lain seperti Natal, umat Islam harus menjaga hubungan harmonis tanpa mencampurkan ajaran agama,” ujarnya.
Ia merujuk pada Surah Al-Kafirun sebagai panduan hubungan antarumat beragama. Dalam surah tersebut, terdapat prinsip tegas: “Bagimu agamamu, bagiku agamaku.” Menurutnya, sikap ini menegaskan bahwa Islam menghormati keberadaan agama lain tanpa mencampurkan keyakinan atau ritual ibadah.
Lebih lanjut, Syamsul menyoroti bahaya sinkretisme, yaitu mencampuradukkan ajaran agama yang berbeda. Ia menyebut pluralisme dengan basis sinkretisme dapat mengarah pada kemusyrikan. “Misalnya, dalam mengucapkan salam lintas agama atau ikut serta dalam ritual ibadah agama lain, itu bisa menimbulkan masalah dalam akidah,” jelasnya.
Terkait perayaan Natal, Syamsul mengingatkan bahwa umat Islam memandang Nabi Isa Almasih sebagai nabi dan rasul, bukan sebagai Tuhan seperti yang diyakini kaum Nasrani. Ia juga menambahkan bahwa berdasarkan kajian Al-Qur’an dan Injil, kelahiran Nabi Isa diperkirakan terjadi pada musim semi, bukan tanggal 25 Desember.
Baca juga, Digelar Akhir Pekan Ini, Musypimwil Jateng Dihadiri Berbagai Pejabat Tinggi Negara
“Sebagai umat Islam, kita menghormati keyakinan kaum Nasrani yang memperingati Natal pada 25 Desember. Namun, penting untuk tetap berada dalam koridor keyakinan Islam,” tegasnya.
Diskusi ini juga menggarisbawahi pandangan Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang perayaan Natal. Syamsul mengutip fatwa tarjih yang melarang umat Islam mengikuti ritual keagamaan dalam perayaan Natal karena mengandung dimensi ibadah.
“Kalau hanya menghadiri acara sosial tanpa unsur ritual, itu masih masuk kategori syubhat. Namun, jika ada indikasi ibadah, maka hukumnya haram,” paparnya. Ia juga mengingatkan umat Islam agar tidak mudah terjebak dalam perkara syubhat karena dapat menjurus pada pelanggaran akidah.
Fatwa ini, tambah Syamsul, telah ditegaskan dalam Musyawarah Wilayah Tarjih Muhammadiyah Jawa Tengah periode 2005-2010 dan merujuk pada fatwa MUI di bawah kepemimpinan Buya Hamka. Salah satu poin penting adalah larangan mengucapkan selamat Natal kepada kaum Nasrani karena dianggap melampaui batas keyakinan.
Melalui kajian ini, Syamsul mengajak umat Islam untuk terus membangun hubungan harmonis dengan penganut agama lain tanpa mengabaikan prinsip akidah. Toleransi bukan berarti menyeragamkan keyakinan, tetapi memahami dan menghormati perbedaan yang ada.
“Sebagai bagian dari bangsa yang majemuk, kita perlu menciptakan ruang dialog yang sehat dan saling menghormati, tetapi tetap menjaga kemurnian ajaran agama masing-masing,” tutup Syamsul.
Kontributor : Habibah
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha