Memandang Muhammadiyah dari Ragam Perspektif

(Refleksi Milad Muhammadiyah ke-113)
Oleh: Taufiq Nugroho Noor, M.Pd
PWMJATENG.COM, Muhammadiyah, pada usia ke-113 tahun, bukan lagi sekadar organisasi sosial-keagamaan. Ia telah menjelma menjadi rumah besar umat, tempat gagasan kemajuan disemai, diperdebatkan, diuji, lalu diwujudkan dalam kerja nyata. Sejak berdiri pada 18 November 1912, KH. Ahmad Dahlan menanamkan spirit tajdid yang memadukan kemurnian ajaran Islam dengan keberanian memperbarui cara pandang umat terhadap realitas sosial.
Ungkapan pendirinya yang masyhur, “Bekerjalah sekeras-kerasnya. Carilah rezeki sebanyak-banyaknya; untuk anak istri secukupnya dan untuk agama sebanyak-banyaknya,” bukan hanya etika personal, tetapi etika gerakan: bekerja, berjuang, dan mengabdi bagi kemaslahatan umat.
Cendekiawan Muhammadiyah Abdul Munir Mulkhan pernah menyebut adanya varian “MUNU” (Muhammadiyah–NU) untuk menggambarkan keberagaman kultural dalam tubuh Muhammadiyah. Istilah bernada satir itu justru menegaskan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi monolitik, melainkan organisme sosial yang hidup dan dinamis.
Dalam panggung dakwah, tampil figur-figur dengan warna dan gayanya masing-masing:
- Ust. Adi Hidayat dengan pendekatan keilmuan yang sistematis,
- Ust. Rifky Jafar Thalib dengan retorika lugas,
- Fathurrahman Kamal yang kuat dalam argumentasi fikih,
- Sukidi yang responsif terhadap isu-isu kontemporer,
- Hammam Sanadi yang rendah hati dan kuat dalam pengkaderan di MPKSDI.
Keberagaman ini bukan ancaman, melainkan kekayaan khas Muhammadiyah: ilmu sebagai fondasi, argumentasi sebagai tradisi, moderasi sebagai orientasi.
1. Perspektif Pendidikan
Dengan lebih dari 170 perguruan tinggi, ribuan sekolah, hingga program peningkatan kompetensi guru, Muhammadiyah telah menjadi pilar penting pencerdasan bangsa. Bagi Muhammadiyah, pendidikan bukan sekadar sarana mobilitas sosial, melainkan dakwah pencerahan.
2. Perspektif Gerakan Sosial
Sejak awal, Muhammadiyah hadir melalui aksi nyata: panti asuhan, layanan kebencanaan melalui MDMC, pemberdayaan perempuan oleh Aisyiyah, advokasi kesehatan masyarakat, hingga gerakan filantropi. Dakwah Muhammadiyah adalah dakwah yang bekerja.
3. Perspektif Ekonomi
Melalui jaringan BMT, koperasi, dan usaha anggota, Muhammadiyah membangun ekosistem ekonomi umat yang mandiri. Spiritnya adalah kesejahteraan yang berkeadilan dan berdasar nilai moral.
4. Perspektif Kesehatan
Lebih dari 400 rumah sakit dan klinik Muhammadiyah–Aisyiyah menjadi bukti dedikasi pelayanan kesehatan yang profesional dan berintegritas.
5. Perspektif Dakwah
Dakwah Muhammadiyah kini bergerak pada paradigma baru: dakwah yang menggembirakan. Tidak ekstrem kanan maupun kiri, tidak kaku dalam skripturalisme, dan tidak pula terjebak liberalisme permisif. Dari masjid dan madrasah diniyah lahir sekolah, rumah sakit, serta AUM yang mengisi kebutuhan masyarakat. Dakwah adalah akar; AUM adalah buahnya.
Perjalanan persyarikatan diperkaya oleh karakter pemimpinnya:
- AR Fahrudin, egaliter dan lihai berdiplomasi.
- Amien Rais, tegas mengoreksi kekuasaan.
- Din Syamsudin, konsisten menyuarakan etika publik.
- Syafii Ma’arif, humanis dan moderat.
- Abdul Mu’ti, komunikatif dan humoris.
- Haedar Nashir, rendah hati namun teguh memandu persyarikatan di era polarisasi.
Ragam pemimpin ini membuktikan: perbedaan watak bukan masalah; hilangnya integritas adalah masalahnya.
Di Jepara, khususnya Nalumsari, tokoh-tokoh lokal turut mewarnai sejarah gerakan. KH. Noor Su’udi, perintis Muhammadiyah Dorang Nalumsari, berpesan:
“Teruslah mendakwahkan Islam melalui Persyarikatan Muhammadiyah.”
Umar Hasyim, intelektual kelahiran Blimbingrejo, dalam Muhammadiyah Jalan Lurus, menegaskan bahwa gerakan ini dibangun atas keikhlasan, kesungguhan, dan integritas moral.
Pesan-pesan perintis lokal ini sejalan dengan amanat Prof. Abdul Mu’ti pada Milad ke-113:
“Kader Muhammadiyah bukan hanya kader persyarikatan, tetapi kader umat dan kader bangsa.”
Dalam rumah besar Muhammadiyah, perbedaan corak dakwah dan kecenderungan pemikiran adalah keniscayaan. Namun ada tiga hal yang tidak boleh dikorbankan:
- Manhaj Tarjih sebagai rambu keilmuan,
- DNA Persyarikatan sebagai identitas gerakan,
- Akhlak dan etika perjuangan sebagai fondasi integritas.
Menjadi kader Muhammadiyah berarti menjaga rumah ini, bukan merusaknya demi ambisi pribadi. Seperti pesan para sesepuh:
“Hidup-hidupilah Muhammadiyah, dan jangan mencari keuntungan dari Muhammadiyah.”
Pada Milad ke-113 bertema “Membangun Kesejahteraan Bangsa,” kita kembali disadarkan bahwa varian Muhammadiyah akan selalu ada—kultural, struktural, akademik, profesional, aktivis sosial, maupun da’i publik. Perbedaan ini saling melengkapi untuk tujuan yang sama: memajukan kehidupan bangsa dan mencerahkan semesta.
Dari pelosok ranting, kami mengucapkan:
Selamat Milad Muhammadiyah ke-113.
Semoga Indonesia menjadi baldatun ṭayyibatun wa rabbun ghafūr.
Keep Life of Muhammadiyah.
Penulis adalah Ketua PRM Dorang, mantan Ketua IMM Al-Faruqi UIN Walisongo Semarang, dan peserta Sekolah Tabligh Muhammadiyah Jawa Tengah, dari Jepara.
Editor: Al-Afasy



