Memahami Amalan Sunnah dan Bid’ah di Bulan Sya’ban
PWMJATENG.COM – Bulan Sya’ban merupakan salah satu bulan istimewa dalam kalender Islam. Banyak umat Muslim yang mengisinya dengan berbagai amalan ibadah, baik yang bersumber dari sunnah maupun tradisi yang berkembang di masyarakat. Namun, tidak semua amalan memiliki dasar dalam ajaran Islam. Hal ini disampaikan oleh Ketua Majelis Tarjih PWM Jawa Tengah, Syamsul Hidayat, dalam kajian tarjih Universitas Muhammadiyah Surakarta bertajuk “Amalan Sunnah & Bid’ah di Bulan Sya’ban” yang diselenggarakan secara daring pada Selasa (15/3/22).
Dalam kajiannya, Syamsul mengingatkan bahwa ada beberapa amalan yang kerap dilakukan masyarakat, tetapi sejatinya tidak memiliki dasar dalam agama Islam. Salah satunya adalah tradisi Sadranan, yang berasal dari upacara Srada pada masa Majapahit dan kemudian diadaptasi oleh para pendakwah menjadi ziarah kubur.
“Menziarahi makam itu diperbolehkan, namun ketika kita melakukan Sadranan dalam rangka mengkhususkan ziarah atau doa kepada leluhur kita dan mengkhususkan pada bulan Sya’ban, maka itu perlu kita bersihkan,” ujar Syamsul.
Selain itu, Syamsul juga menyoroti amalan yang bersumber dari hadis palsu, seperti ibadah Nisfu Sya’ban. Menurutnya, puasa Ayyamul Bidh—puasa pada tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan hijriah—memiliki dasar yang jelas. Namun, jika seseorang berpuasa hanya pada tanggal 15 Sya’ban serta mengamalkan shalat Nisfu Sya’ban pada malam harinya, maka hal tersebut didasarkan pada hadis yang tergolong maudhu’ atau palsu.
“Kita puasa Ayyamul Bidh itu tidak apa-apa, namun kalau puasa di tanggal 15 saja dan dengan mengamalkan amalan seperti Shalat Nisfu Sya’ban pada malam harinya, hadistnya sudah ada dalam kitab Maudhu’at atau kitab kumpulan hadits palsu,” jelasnya.
Meski demikian, Syamsul juga menegaskan bahwa ada beberapa amalan yang dianjurkan pada bulan Sya’ban, di antaranya memperbanyak puasa sunnah. Hal ini merujuk pada hadis riwayat Tirmidzi dari Aisyah r.a., yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW belum pernah berpuasa dalam satu bulan lebih banyak daripada bulan Sya’ban.
Baca juga, Khutbah Jumat: Internalisasi Nilai Spiritual Bulan Sya’ban dalam Menghadapi Musibah
“Nabi SAW belum pernah berpuasa dalam satu bulan lebih banyak dari bulan Sya’ban. Sesungguhnya beliau berpuasa di bulan Sya’ban seluruhnya,” (HR. Tirmidzi).
Selain puasa sunnah, umat Islam juga dianjurkan untuk mengkaji amalan-amalan bulan Ramadan sebagai bentuk persiapan menyambut bulan suci. “Seringkali para sahabat berkumpul bersama Nabi dan bertanya tentang amalan bulan Ramadan,” ujar Syamsul. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya memahami keutamaan ibadah yang akan dilakukan saat Ramadan tiba.
Tak hanya itu, bulan Sya’ban juga menjadi waktu yang tepat bagi umat Islam untuk segera membayar utang puasa yang tertinggal pada tahun sebelumnya. Syamsul mengingatkan agar umat Muslim tidak menunda-nunda kewajiban ini.
Pada akhir pembahasannya, Syamsul menekankan bahwa Sya’ban adalah bulan yang istimewa karena pada bulan ini, amalan manusia diangkat ke hadirat Allah SWT. Ia mengutip hadis dari Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Tirmidzi:
“Ia adalah bulan di saat manusia banyak yang lalai (dari beramal saleh), antara Rajab dan Ramadan. Ia adalah bulan di saat amal-amal dibawa naik kepada Allah Rabb semesta alam, maka aku senang apabila amal-amalku diangkat kepada Allah saat aku mengerjakan puasa sunnah.” (HR. Tirmidzi).
Dengan demikian, ia berpesan agar umat Islam lebih selektif dalam mengisi bulan Sya’ban. “Kita perlu selektif dalam mengisi bulan Sya’ban,” pungkasnya. Pesan ini menjadi pengingat bagi umat Islam agar memanfaatkan bulan Sya’ban dengan memperbanyak amalan yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW dan menghindari praktik yang tidak memiliki dasar yang kuat dalam ajaran Islam.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha