Marah, Wajib Dibiasakan

Marah, Wajib Dibiasakan
Oleh: Muhammad Ilham Zulfa, S.Pd. (Wakil Kepala AIK MBS Hj. Nasikhah Plompong)
PWMJATENG.COMย โย Banyak orang masih salah paham terhadap konsep marah. Tidak semua bentuk marah dilarang. Dalam kondisi tertentu, marah justru wajib dibiasakan dan bahkan terpuji. Marah merupakan salah satu bentuk ekspresi perasaan atau emosi manusia yang wajar (แนญabฤซโiyyah).
Emosi adalah perasaan atau afeksi yang muncul dalam diri seseorang sebagai respons terhadap situasi atau rangsangan tertentu. Proses munculnya emosi melibatkan perubahan fisiologis, pemikiran, dan perilaku yang dapat dirasakan seseorang. Menurut Rizal Makarim (2018), emosi memiliki banyak bentuk, seperti bahagia, sedih, kaget, serta ekspresi lain melalui gestur dan raut muka.
Dalam kehidupan sehari-hari, wajar bila seseorang merasa marah. Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa marah perlu dibiasakan, tentu dengan batas dan alasan yang logis. Marah tanpa alasan yang jelas, atau menjadi kebiasaan buruk seperti mudah tersinggung dan cepat emosi, tentu tidak dibenarkan.
Marah dalam Perspektif Islam
Dalam Islam, marah bukan sesuatu yang haram secara mutlak. Bahkan Allah pun murka terhadap perbuatan zalim, sebagaimana dalam firman-Nya:
ููู ููู ููููุชููู ู ูุคูู ูููุง ู ูุชูุนูู ููุฏูุง ููุฌูุฒูุงุคููู ุฌููููููู ู ุฎูุงููุฏูุง ูููููุง ููุบูุถูุจู ุงูููููู ุนููููููู ููููุนููููู ููุฃูุนูุฏูู ูููู ุนูุฐูุงุจูุง ุนูุธููู ูุง
โDan barang siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahanam, kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, melaknatnya, dan menyediakan azab yang besar baginya.โ (QS. An-Nisa: 93)
Beberapa riwayat juga menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw. pernah marah. Dalam hadis riwayat al-Bukhari, diceritakan bahwa Rasulullah marah kepada Usamah bin Zaid yang membunuh seseorang setelah orang itu mengucapkan syahadat. Nabi berulang kali menegur, โApakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan lฤ ilฤha illallฤh?โ
Baca juga, Muhammadiyah Umumkan Jadwal Puasa Ramadan 2026, Catat Tanggal Resminya!
Dari contoh tersebut, dapat dipahami bahwa marah dibolehkan jika dilakukan karena alasan yang benar. Marah dalam konteks Islam dapat dimaknai sebagai bentuk teguran, pengingat, atau pelajaran. Ada kondisi di mana sesuatu tidak bisa diluruskan tanpa adanya ketegasan atau kemarahan yang terarah.
Marah yang Terpuji dan Tercela
Marah yang dibolehkan dalam Islam adalah marah karena Allah, yakni ketika melihat pelanggaran syariat, kemungkaran, penindasan, atau tindakan zalim. Sebaliknya, marah yang tercela adalah marah bukan karena Allah (ifrฤth).
Imam al-Ghazali dalam Ihyaโ โUlumuddin (Juz 3, hlm. 64) mengutip pendapat Imam asy-Syafiโi tentang kriteria marah yang terpuji:
โSeseorang yang tidak marah ketika pantas marah adalah seperti keledai. Barang siapa tidak memiliki kekuatan marah dan semangat sama sekali, maka ia sangat lemah. Allah memuji sahabat Nabi dengan sifat tegas terhadap orang kafir dan kasih sayang terhadap sesama mukmin (QS. Al-Fath: 29; At-Taubah: 73). Ketegasan itu merupakan bentuk kekuatan semangat dan bagian dari marah yang benar.โ
Dengan demikian, jika seseorang berada dalam situasi yang memang menuntut marah, maka ia seharusnya marah. Namun, kemarahan itu harus didasari pada niat baik, yakni demi kebaikan dan perbaikan. Orang yang tidak pernah merasa marah dalam keadaan semestinya bisa dianggap kehilangan harga diri, bukan karena sabar, melainkan karena tidak memiliki keberanian moral.
Ciri Marah yang Terpuji
Ada beberapa indikator marah yang terpuji, antara lain:
- Tidak melanggar syariat, misalnya tidak mencaci, merendahkan, memukul tanpa hak, atau berbuat zalim.
- Bertujuan memperbaiki, bukan menyakiti atau menghancurkan, seperti menegur dengan tegas agar seseorang sadar.
- Terkendali dan proporsional, yakni tidak melampaui batas dalam ucapan, tindakan, maupun emosi.
- Dilandasi niat yang lurus, semata-mata demi menegakkan kebenaran dan kehormatan, bukan karena gengsi pribadi.
Sebagaimana ditegaskan Imam al-Ghazali, jika kondisi mengharuskan seseorang marah namun ia tidak marah, maka ia seperti keledai. Bahkan, jika seseorang sama sekali tidak memiliki rasa marah, itu tanda ia tidak memiliki harga diri.
Marah, jika ditempatkan pada waktu dan alasan yang tepat, bukanlah aib. Justru ia bisa menjadi bentuk tanggung jawab moral dan spiritual untuk menegakkan kebenaran.
Ass Editor : Ahmad; Editor :ย M Taufiq Ulinuha