Kurban Tidak di Masjid yang Sudah Berlimpah
PWMJATENG.COM – Apa tepat membahas kurban ketika pendemi yang belum benar-benar pungkas ini?! Tentunya akan muncul beragam jawaban dan argumentasi. Namun kiranya syari’at yang satu ini tak akan lekang walau di tengah pendemi. Karena memang kurban pada hahekatnya adalah puncak “penyembelihan” pada apa yang mungkin kita anggap sebagai sandaran akhir.
Seperti anggapan Khalilullah Ibrahim As. saat itu yang menganggap Ismail As. sebagai harapan akhir penerus risalahnya. Allah Swt. benar-benar Maha Cemburu dalam level ini. Kurban adalah ibadah yang tinggi. Sejak tragedi Qabil-Habil, kita paham hanya kurban terbaik yang diterima Allah Ta’ala.
Kenapa terbaik? Karena nilai gunanya yang paling bermanfaat. Domba gemuk tentu nilai guna lebih hebat dibanding domba kurus selama kita mampu. Namun, problem kekinian ternyata makin kompleks. Nilai guna saat ini telah meluas sampai ke aspek sosiologis.
Ada masjid-masjid yang berlimpah kurban, ada masjid di pelosok yang minim. Bukan karena kesadaran, namun lebih karena kemiskinan. Masih ditambah bila bencana alam dan pendemi hadir. Maka nilai guna yang bersifat pemerataan menjadi sangat urgen.
Baca juga, Dirikan SD Muhammadiyah Tahfizul Qur’an Dukuhbenda, Ketua PRM : Kami Terus Bergerak
Dari sekian dialog dengan sahibul kurban, “Kenapa masih berkurban di masjid sebelah rumah walaupun tahu sudah melimpah?” Rata-rata karena pakewuh dengan takmir, jamaah, orang tua, panitia atau tetangga sekitar. Rasa pakewuh ini demikian dominan mengalahkan rasa pamer. Bisa dicek besok ketika kurban, bagaimana panitia kurban dengan bangga mendendangkan banyak-banyakan kurban di masjidnya.
Banyak?! Tolong, di luar sana masih banyak yang tidak menikmati daging kurban. Di sana, di tempat-tempat terpencil, di tengah bencana, di daerah miskin. Ingatlah, kita tidak disuruh menyembelih anak kita. Kita cuma disuruh “menyembelih” rasa selain yang Allah. Memang dikira lillaahi ta’ala itu mudah?! Kita diminta untuk tidak lil takmir, tonggo atau mertua. Sudah Allah saja. Biar mereka para makhluk tidak tahu dan tidak paham kita berkurban, yang penting Allah tahu.
Ini demi menyelamatkan rasa kita. Jangan sampai ibadah kita mati rasa. Bangga di tengah derita yang ada dimana-mana. Maksimalkan qurban untuk menolong sesama. Memang tidak mudah. Memang tidak gampang. Namun harus dicoba. Hentikan budaya membangga-banggakan jumlah qurban di tengah pemukiman mapan. Namun sesulit-sulitnya amalan ini, masih susah yang dilakoni Ibrahim as dahulu. Menaruh anak istri sendirian di tengah gurun. Ditinggal bertahun-tahun. Setelah ketemu suruh menyembelih pula. Sempurna sudah.
Wallaahu a’lam.
Penulis : Ikhwanushoffa (Ketua Lazismu Sragen)
Editor : M Taufiq Ulinuha