Kudangan, Weh-Wehan, dan Bajigur
Kudangan, Weh-Wehan, dan Bajigur
Oleh : Khafid Sirotudin (Ketua LP-UMKM PWM Jawa Tengah, Ketua Bidang Jaringan dan Diaspora Kader MPKSDI PP Muhammadiyah)
PWMJATENG.COM – Selalu ada tradisi dan budaya baik yang mengiringi perayaan hari raya umat beragama di Indonesia. Tak terkecuali di kalangan umat Islam saat merayakan Idulfitri dan Iduladha. Salah satunya yaitu tradisi ”kundangan, weh-wehan, riyayanan” di berbagai daerah Jawa Tengah yang memiliki komunitas muslim terbesar dalam setiap kampung.
Setelah menunaikan Salat Id di masjid atau tanah lapang, warga biasa berbondong-bondong menuju masjid/musala membawa “berkat” yaitu penampan berisi makanan pokok dan aneka lauk-pauk. Kundangan berisi nasi/lontong/kupat beserta lauk sambel goreng, oseng-oseng, opor, kerupuk, ayam goreng dan kudapan khas lokal. Sesampai di musala seluruh penampan berisi makanan diletakkan di tengah area salat berjamaah. Sedangkan warga dan jamaah duduk bersila mengelilinginya.
Tidak ada undangan resmi apalagi mewajibkan masyarakat di sekitar musala untuk mengikuti kundangan. Sebagaimana tradisi atau budaya pada umumnya. Semua tumbuh, bertahan dan berkembang selaras dengan kesadaran warga yang muncul dari kearifan lokal.
Setelah semua berkumpul mengelilingi penampan dengan aneka ragam makanan, seorang imam atau kiai musala memberikan tausiah singkat semacam “kultum (kuliah tujuh menit)”, lalu memimpin doa memanjatkan keselamatan, kerahmatan dan kebahagiaan bagi segenap warga kampung dan jamaah musala. Setelah diberkati dengan doa, setiap jamaah membawa pulang penampan yang berisi makanan yang telah ditukarkan dengan makanan dari jamaah lain. Saling memberi, saling berbagi makanan.
Ada juga di beberapa tempat, yang pernah saya ikuti, setelah diberkati doa, warga makan bersama menikmati hidangan dengan “pincuk” atau piring yang telah disediakan. Jamaah bebas memilih makanan dari semua sajian yang dihidangkan jamaah lain. Sungguh nikmat makan berjamaah dengan warga sekampung di dalam musala. Saya yakin pahalanya berlipat ganda.
Bajigur
Kami sekeluarga menempati rumah di kampung Pagersari, Penaruban, Weleri, 30 Maret 2000. Dua pekan setelah hari lebaran haji Iduladha waktu itu, 16 Maret 2000. Kami beruntung bisa bertempat tinggal sangat dekat dengan musala Nurul Jadid, hanya berjarak 3 rumah.
Sejak Iduladha 2001, saya bersama 5-7 keluarga warga Persyarikatan se-kampung menginisiasi kurban seekor sapi yang disembelih di depan rumah kami. Selain muqarib (orang yang ikut iuran kurban) warga kampung kami libatkan untuk bersama-sama mengelola dan membagikan daging kurban untuk warga Satu RW Empat RT. Kami koordinasikan dengan 2 takmir musala yang ada di kampung kami, agar pendistribusian daging kurban bisa merata. Mengingat dua musala yang ada, biasanya hanya menyembelih 1-3 ekor kambing yang tentu memiliki keterbatasan dalam jumlah pembagian daging bagi jamaahnya.
Selama 9 tahun (2001-2010), muqarib persyarikatan, selalu menyembelih seekor sapi di depan rumah kami bersama warga kampung. Sejak tahun 2011, penyembelihan seekor sapi dan 2 ekor kambing mulai dilakukan di musala, setelah muncul kesadaran lebih luas dari para aghniya’ untuk berhimpun menunaikan ibadah kurban dengan menyembelih seekor sapi. Selain sesuai dengan kaidah fikih, juga “babar” (lebih banyak, luas) jumlah daging maupun penerimanya.
Baca juga, Ibadah Haji dan Persamaan Nilai Kemanusiaan
Ada kebiasaan istri saat pelaksanaan ibadah kurban, sejak dilakukan di depan rumah maupun setelah berpindah di musala Nurul Jadid. Yaitu membuat minuman Bajigur khas Yogyakarta, daerah asal nyonya. Kebetulan istri saya hobi membuat aneka makanan dan minuman. Kata orang kampung, masakan istri saya “nyamleng” (enak sekali) rasanya…cie-cie muji istri sendiri.
Tujuan awal istri membuat bajigur untuk memberikan minuman yang menyegarkan bagi para relawan kampung yang ikut mengelola daging kurban. Alhamdulillah Iduladha tahun ini musala kami menyembelih 3 ekor sapi.
Bajigur adalah minuman berbahan baku “degan” (kelapa muda) yang diperkaya rasa dengan santan, gula jawa, kopi dan daun pandan. Kebiasaan membuat bajigur telah menjadi tradisi tersendiri di kampung kami saat Iduladha. Meski kami sekeluarga jarang mengikuti tradisi kundangan sebagaimana warga kampung dan jamaah musala, namun tradisi bajigur telah menjadi pengganti “weh-wehan” (saling memberi makanan) yang dinanti-nantikan warga saat Iduladha tiba. Wallahu’alam.
Editor : M Taufiq Ulinuha