Komisi Etik Muhammadiyah: Saatnya Mengoreksi Diri Sendiri

Keberanian moral yang dulu menegur kemapanan kini mulai memudar. Muhammadiyah butuh komisi etik untuk menegur diri sendiri dan menjaga integritas gerakan.
Oleh Qosdus Sabil; Anggota Bidang Layanan dan Advokasi MLH PP Muhammadiyah 2022–2027
PWMJATENG.COM – Gerakan Muhammadiyah lahir bukan dari nafsu kekuasaan, tetapi dari keberanian moral untuk menegur kemapanan. Namun hari ini, keberanian itu mulai memudar. Muhammadiyah menjadi organisasi besar yang kehilangan gigi pengendali moral di tubuhnya sendiri.
Kita punya Majelis Tarjih dan Tajdid yang mengatur fatwa keagamaan. Kita punya LPPK yang mengaudit keuangan. Kita punya Majelis Hukum dan HAM yang mengurusi urusan publik. Tetapi, tidak satu pun lembaga yang benar-benar mengawal etika kepemimpinan di internal Muhammadiyah.
Padahal, yang menjaga nyawa gerakan bukan AD/ART, melainkan rasa malu dan integritas moral para pemimpinnya. Ketika etika kehilangan tempat, maka seluruh sistem—sebaik apa pun—akan kehilangan arah. Pelanggaran terhadap kaidah perserikatan kini bukan kabar asing. Rangkap jabatan antara pimpinan perserikatan dan amal usaha dianggap “kewajaran”.
Aktivis yang dulu bicara keikhlasan dakwah, kini berebut jabatan komisaris. AMM yang dulu pelopor, kini hanya menjadi pelengkap politik praktis.
Di sejumlah daerah, struktur Muhammadiyah bahkan telah menjadi anak kandung kekuasaan, bukan lagi korektor moralnya. Pertanyaan Menyakitkan: siapa yang berani menegur pimpinan jika yang melanggar justru duduk di kursi pleno? Pleno pimpinan sering kali lumpuh menghadapi konflik etik.
Audit dan rekomendasi dari Lembaga Pembina dan Pengawas Keuangan (LPPK) berhenti di meja rapat tanpa tindak lanjut. LPPK belum berhasil membina dan menegakkan sanksi tegas terhadap pelaku pelanggaran.
Dengan begitu, kritiknya mesti diarahkan kepada penguatan LPPK, baik dalam fungsi, otoritas, maupun kewenangannya dalam menyelesaikan penyalahgunaan anggaran atau korupsi yang terjadi di tubuh Muhammadiyah.
Majelis Hukum dan HAM tak bisa masuk, sebab pelanggaran etik dianggap bukan ranah hukum. Sementara suara moral dari bawah perlahan padam, ditelan budaya “jaga harmoni” yang menutup ruang koreksi. Padahal, harmoni tanpa kebenaran bukan ukhuwah, melainkan kompromi terhadap kebusukan.
Solusi Moral: Komisi Etik Muhammadiyah
Kini saatnya Muhammadiyah berbenah dari dalam. Diperlukan sebuah lembaga independen yang berdiri di atas seluruh struktur pimpinan: Komisi Etik dan Mahkamah Internal Muhammadiyah.
Mandatnya tunggal: menjaga marwah moral perserikatan. Ia bukan sekadar lembaga penghukum, tetapi penjaga ruh integritas, agar Muhammadiyah tidak menjadi organisasi besar yang kehilangan rasa malu di hadapan jemaahnya sendiri.
Komisi ini harus berani memeriksa pimpinan yang rangkap jabatan, menegur mereka yang menyalahgunakan posisi, bahkan memberi sanksi moral terbuka bila perlu.
Termasuk ketika pelaksanaan pemilihan pimpinan di kalangan AMM yang hampir semuanya terkait praktik money politic dan pemanfaatan jaringan alat negara — baik ‘Badan Tiga Huruf’ maupun operator seragam cokelat—untuk memenangkan kandidat tertentu.
Ini harus menjadi perhatian besar, karena pleno PP Muhammadiyah tidak berdaya dan terkesan hanya membiarkan praktik-praktik kotor itu terus terjadi. Beberapa pengaduan yang masuk sekadar diterima sebagai laporan dan tidak bisa ditindaklanjuti karena dianggap minim bukti.
Penegakan disiplin organisasi dan keharusan pimpinannya taat pada panduan etik selayaknya menjadikan seluruh aktivis persyarikatan lebih mawas diri. Karena tanpa tegaknya etik, amar makruf hanya berhenti di pidato— bukan pada perilaku.
Etik adalah inti dari gerakan Muhammadiyah. Tanpa etika, amar makruf hanyalah slogan, dan dakwah kehilangan makna koreksi.
Refleksi ke Depan
Muhammadiyah lahir dari keberanian Kiai Ahmad Dahlan yang menegur kemapanan sosial dan keagamaan. Gerakan ini tumbuh dari kesadaran bahwa agama bukan hanya tentang benar dan salah, tapi juga tentang adil, jujur, dan berani menegur diri sendiri.
Ironis bila hari ini, organisasi yang dulu menegur bid’ah justru takut menegur dirinya sendiri. Tanpa mekanisme etik, dakwah amar makruf hanya berhenti di mimbar—tidak pernah menyentuh ruang rapat pimpinan.
Kita membutuhkan Muhammadiyah yang tidak hanya mengajarkan moral, tetapi juga menegakkan moral. Sebab, etika bukan pelengkap organisasi—ia adalah napasnya, denyut jantungnya, inti dari segala inti perjuangan.
Dan bila etika mati, maka seluruh kemuliaan Muhammadiyah ikut dikuburkan bersamanya. Komisi etik bukan alat kontrol kekuasaan, tetapi cermin bagi perserikatan. Yang sejati bukan yang tak pernah salah, melainkan yang berani memperbaiki diri.



