Ketika Bencana Menjadi Guru: Iman, Ilmu, dan Tanggung Jawab Manusia

Oleh: Rudi Pramono, Ketua MPI Wonosobo
PWMJATENG.COM, Wonosobo — Hujan deras yang mengguyur malam itu membawa seorang pemuda berteduh di serambi masjid. Di tempat yang sunyi tersebut, ia bertemu Simbah Kyai. Dari sapaan sederhana, percakapan hangat lahir—tenang, beradab, dan sarat makna tentang iman, ilmu, serta tanggung jawab manusia terhadap alam.
Simbah Kyai membuka percakapan dengan nasihat lembut. “Perbanyak istighfar, Nak. Dunia semakin tua, manusia kian hilang kesadarannya,” ujarnya. Beliau mengingatkan bahwa Al-Qur’an banyak menceritakan kaum terdahulu yang ditimpa bencana karena kesombongan dan kelalaian.
Bagi Simbah Kyai, istighfar adalah jalan pulang manusia kepada Allah.
Sang pemuda menyimak dengan hormat. Ia menambahkan bahwa Al-Qur’an juga memberi peringatan tentang kerusakan di darat dan laut akibat ulah manusia. “Istighfar itu wajib, Mbah. Tapi manusia juga memikul amanah sebagai khalifah untuk memperbaiki kerusakan yang ditimbulkannya di bumi,” tuturnya.
Simbah Kyai manggut-manggut. Ia lalu mengutip penafsiran klasik dari Abu Bakar ash-Shiddiq tentang QS. Ar-Rum ayat 41. Menurut beliau, kerusakan daratan merujuk pada lisan yang digunakan untuk memfitnah dan mencaci, sementara kerusakan lautan merujuk pada hati yang dipenuhi riya, sombong, hasad, dan dengki.
Pemuda itu mengapresiasi warisan ulama. Baginya, tafsir ulama terdahulu adalah cahaya yang tetap relevan, namun dapat diperkaya dengan ilmu pengetahuan modern. Ia menyinggung geologi, vulkanologi, dan seismologi sebagai ilmu yang berkembang dari fenomena alam.
Kerusakan lingkungan, lanjutnya, telah menjadi isu global. “Banyak pihak non-Muslim bersungguh-sungguh menjaga bumi. Seharusnya kita yang mengimani amanah Allah lebih bersemangat,” katanya.
Simbah Kyai mendengarkan dengan takzim. Baginya, hikmah bisa datang dari siapa saja selama hatinya jernih.
Percakapan itu mengalir pada pentingnya memadukan tauhid dengan tanggung jawab ekologis. Pemuda tersebut menekankan urgensi membangun fiqih lingkungan hidup, memperkuat mitigasi bencana, dan meningkatkan kolaborasi dalam upaya penyelamatan bumi sebagai amanah Allah.
Ketika hujan mereda, keduanya berdiri dan saling menyalami. Mereka pulang tidak hanya dengan pakaian yang mulai kering, tetapi dengan hati yang basah oleh kesadaran baru: bahwa iman dan ilmu tidak untuk dipertentangkan, melainkan disatukan demi kemaslahatan semesta.
Malam itu, serambi masjid menjadi saksi bahwa dialog antargenerasi dapat melahirkan jembatan emas menuju masa depan Islam yang lebih mencerahkan dan memuliakan seluruh makhluk.
Editor: Al-Afasy



