Kemajuan Teknologi Komunikasi dan Kebocoran Etika
Oleh: Istianah, Lc., M.Hum.
Selalu ada kebaharuan kisah pada setiap hari. Baik bencana alam, bencana non-alam, bencana sosial, dan lain sebagainya dari yang bertaraf internasional hingga bencana yang bertaraf lokal. Berita-berita dan kisah tersebut semakin sesak memenuhi ruang ingatan manusia atas apa saja yang terjadi dalam kehidupan. Dalam beberapa hari akan menjadi peristiwa yang memenuhi ruang diskusi dalam grup-grup besar dan kecil, dalam beberapa hari, kemudian akan berlalu menjadi kenangan karena tergeser oleh kisah baru yang berdesakan masuk. Terkadang kita terus mengingat peristiwa tersebut tanpa ada yang mengingatkan, tapi lebih seringnya mereka baru akan mengingat dan membahasnya kembali ketika mendekati musim-musim tahunan. Seakan peristiwa tersebut terlahir kembali mengulang tahun kejadiannya. Sedangkan pada kali ini kita batasi perenungan pada bencana sosial saja.
Informasi dan berita kini tak memerlukan hitungan hari bahkan jam untuk mencapai tangan pembaca. Ia tak lagi terkungkung di balik dinding dan di bawah meja manusia-manusia pencekalnya. Tak ada seorang pun yang bisa menahannya untuk terbang mengudara menyapa siapapun yang bersedia menikmati. Siapapun, memang ingin menikmatinya. Ia menjadi modal bagi segelintir atau sebagian banyak manusia untuk berdiskusi, berbicara, dan sekedar mengobrol yang sebenarnya tidak membuahkan apa-apa. Tapi pada intinya ia dibutuhkan sebagai adonan untuk dilahap, atau bahkan untuk “digoreng” kembali agar senantiasa hangat dan menarik dibicarakan.
Kita mengerucut pada skala ruang yang lebih kecil. Ketika kita mendengar seorang di sekitar kita, melakukan sebuah kesalahan pada satu hal yang mengiris rasa kemanusiaan. Kita akan membicarakannya, entah dengan alasan antisipasi agar suatu saat hal tersebut tak terulang lagi, atau alasan mencari solusi atas apa yang sudah terjadi, atau pun sebenarnya tak ada yang bermaksud pada kedua alasan itu. Kita hanya ingin berbicara dan memperdengarkannya kepada orang lain.
Tak sedikit manusia yang siap membagikan informasi kepada siapa saja, walaupun tanpa ditanya, karena dirinya sendiri menjadi bangga jika dikatakan sebagai manusia pertama yang menerima informasi tersebut dan menyebarkannya. Ia telah menjadi pahlawan informasi bagi rekan-rekannya. Tapi pernahkah bertanya kepada hati nurani, apakah dirinya sendiri pun menjadi pahlawan yang dapat memperbaiki keadaan? Ataukah tak lain justru menjadi penebar bencana. Bencana berupa aib yang seharusnya cukup diketahui oleh tangan-tangan pencari solusinya. Biarkanlah mereka yang bekerja, biarkan mereka mengerahkan seluruh tenaga untuk membuat benteng antisipasi sekaligus solusi mujarabnya. Bukan kita, yang hanya bisa meng-copy, paste, dan share aib-aib tersebut melalui media sosial dan sebagainya. Karena hanya untuk berdoa dan mendoakan agar keadaan menjadi baik pun belum tentu kita melakukannya, mengingatnya. Padahal hal itu menjadi ciri selemah-lemahnya iman –seorang muslim- bilamana terjadi kemaksiatan di tengah-tengah masyarakatnya.
Lagi-lagi, teknologi –khususnya- komunikasi memang telah melejit melampaui jarak antara Bumi dan Mars. Tapi manusia, yang telah menginovasi teknologi tersebut terus menerus, tak sanggup mengiringi lajunya. Moral, etika, akhlak dan apapun namanya dalam konsep agama dan manusia secara universal yang sejatinya telah tersimpan sebagai potensi pada diri manusia, lenyap hancur menghilang tergilas oleh kemajuan akalnya sendiri. Kantung-kantung kebaikan itu mengalami kebocoran.
Mengerikan, tapi tetap saja belum ditemukan solusinya. Pesakitan manusia yang satu ini belum menemukan obat penyembuhnya secara total, hanya rambu-rambu yang dapat meminimalisir getirnya nyeri yang harus ditanggung. Rambu-rambu berupa etika, moral, akhlak, dan ajaran-ajaran agama yang harus tetap digaungkan terus-menerus agar merasuki hati siapapun yang masih memiliki hati. Maka siapapun harus bersedia menerima teguran, peringatan, “hukuman” di dunia jika melanggarnya, bahkan ganjaran akhirat atas apa yang ia share walau hanya menggunakan jari-jari lentiknya.
Stop untuk menyebarkan aib saudara kita! Jika terpaksa telah kita terima, cukupkan informasi tersebut sampai di tangan kita dan jadikan itu sebagai pelajaran dalam membina anak-anak kita, membentengi generasi ke depan dari kerusakan dan bencana-bencana lainnya. Janganlah menjadi pemakan daging saudara sendiri yang telah mati, sedangkan Pencipta kita yang Maha Pengasih telah mengingatkan dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ (12)
Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang. (QS. al-Hujurat/49: 12).
Janganlah meng-copy, paste dan share kepada khalayak ramai, menjalin komunikasi yang tak perlu, jika hal itu sesuatu yang dapat menyakiti pihak lain, membuat sedih, membuat tertekan, seakan tak ada lagi tempat dan hati baik di muka bumi ini yang bersedia menerima kehadiran pihak yang bersalah dan bersedia membimbingnya dari kegelapan akal pikir dan hati. Jika ada manusia yang melakukan kesalahan, biarkan Allah Yang Menghukumnya, Allah lah Maha Penerima taubat. Sedangkan kita sebagai hamba-Nya hanya berusaha untuk berbuat baik, beramal shaleh, menutup aib sendiri dan orang lain, serta menjaga satu sama lain dengan nasehat menasehati. (*)