Kajian UMS Bahas Hukum Perceraian dalam Perspektif Tarjih Muhammadiyah

PWMJATENG.COM, SURAKARTA — Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) kembali menyelenggarakan Kajian Tarjih Online dengan menghadirkan Yayuli, S.Ag., M.Pd., sebagai narasumber. Kajian yang digelar pada Selasa (18/11) ini mengangkat tema “Gugatan Cerai Istri atas Suami Tanpa Adanya Udzur Syar’i” dan berfokus pada fikih munakahat, khususnya persoalan gugatan cerai yang kini menjadi salah satu perkara terbanyak di Pengadilan Agama.
Yayuli membuka kajian dengan mengutip pertanyaan yang masuk ke Majelis Tarjih & Tajdid mengenai hukum istri mengajukan cerai tanpa alasan yang syar’i, termasuk alasan “tidak ada cinta” setelah bertahun-tahun menikah.

Ia merujuk hadis Rasulullah SAW dari Anas bin Malik RA:
“Jika seorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Maka bertakwalah kepada Allah pada separuh yang lainnya.”
Menurut Yayuli, pernikahan merupakan ibadah yang menuntut komitmen, cinta, dan kasih sayang. Karenanya, persoalan hilangnya rasa cinta perlu ditelusuri akar penyebabnya, seperti adanya perselingkuhan atau kurangnya perhatian dari pihak suami.
Yayuli kemudian menyampaikan empat ciri wanita yang baik sebagaimana hadis riwayat Abu Hurairah:
- Berpotensi memberi keturunan dan menyayangi suami;
- Membahagiakan ketika dilihat;
- Taat ketika diperintah;
- Menjaga harta dan kehormatan diri saat suami tidak ada.
Mengacu pada QS. Al-Baqarah ayat 233, Yayuli menjelaskan bahwa suami berkewajiban memberikan nafkah dan kelayakan rumah tangga secara ma’ruf.
“Jika suami tidak mampu memberikan kelayakan rumah tangga, akan terjadi ketimpangan yang berpotensi mengikis rasa cinta istri,” terangnya.
Yayuli juga menyinggung bahwa persoalan gugatan cerai sudah terjadi sejak masa Nabi Muhammad SAW, seperti kisah Zainab binti Jahsy yang meminta cerai kepada Rasulullah.
Ia mengutip hadis terkait kebolehan cerai meski Allah tidak menyukainya:
“Allah tidak membenci sesuatu yang dihalalkan selain talak.”
Menurutnya, perceraian dibolehkan tetapi bukan pilihan utama.
Yayuli menegaskan pentingnya upaya islah terlebih dahulu sebelum pasangan mengambil keputusan untuk berpisah.
“Sebelum bercerai, hendaknya menunjuk juru damai dari masing-masing keluarga agar tercapai perdamaian,” jelasnya.
Menutup kajian, Yayuli menyampaikan pandangan Majelis Tarjih & Tajdid Muhammadiyah bahwa proses perceraian wajib melalui sidang Pengadilan Agama.
“Hal ini sejalan dengan Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 65 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Perceraian hanya sah jika diputuskan di Pengadilan Agama,” tegasnya.
Kontributor: (Affiq/Humas)
Editor: Al-Afasy



