Inklusifitas Kerja Nyata Kemendikdasmen di Bawah Abdul Mu’ti

PWMJATENG.COM – Pergantian menteri kerap dicurigai sebagai pintu masuk perubahan kebijakan yang membingungkan. Namun sejak dilantik pada 21 Oktober 2024, Abdul Mu’ti—akademisi dan pegiat pendidikan—memilih jalur kerja nyata yang terukur: membenahi tata kelola penerimaan peserta didik, memperluas akses yang adil, dan mengarusutamakan inklusivitas sebagai fondasi. Garis besarnya terang: “pendidikan bermutu untuk semua” bukan sekadar slogan, tetapi arah kerja yang ditopang kebijakan, kolaborasi, dan angka-angka yang bisa diperiksa.
Kebijakan paling strategis adalah peralihan PPDB menjadi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) untuk tahun 2025. Pemerintah menegaskan empat jalur penerimaan yang lebih jelas dan akuntabel, dengan penekanan pada keadilan akses—termasuk afirmasi bagi kelompok rentan. Argumentasinya sederhana: penerimaan yang tertib, transparan, dan berpihak adalah pintu masuk kualitas. Tanpa hulu yang adil, sulit berharap hilir yang unggul. Pernyataan resmi mengenai empat jalur dan tujuan perubahan ini telah dipublikasikan kanal pemerintah, sejalan dengan penjelasan publik Mendikdasmen.
Di atas kertas, “inklusif” dapat kedengaran manis. Di lapangan, ia menuntut keberpihakan tegas. Pada SPMB 2025, kuota untuk siswa penyandang disabilitas diperluas sebagai wujud keberpihakan yang selama ini sering ditunda. Kebijakan ini bukan hanya soal angka, melainkan pengakuan bahwa keadilan membutuhkan desain afirmatif. Ini menutup jurang lama yang membuat anak-anak berkebutuhan khusus tersisih dari ruang belajar terbaik di kotanya sendiri.
Namun pemerintah juga tidak menutup mata pada tantangannya. Abdul Mu’ti secara terbuka mengakui setidaknya dua masalah dalam pendidikan inklusif: kesiapan sekolah—mulai dari ketersediaan guru dengan kompetensi khusus hingga konsekuensi biaya—dan kendala kultural di kalangan orang tua maupun masyarakat. Pemerintah pusat dan daerah perlu menyatu langkah: menambah formasi dan pelatihan guru pendidikan khusus, memperbaiki sarana aksesibilitas, dan mengarusutamakan edukasi publik agar penerimaan sosial tumbuh bersama kebijakan. Pengakuan atas masalah ini penting: kejujuran data membuat solusi lebih tepat sasaran.
Baca juga, Modal Rohani dan Jasmani Umat Islam dalam Pandangan Ketua PWM Jateng Tafsir
Kerja inklusif juga tampak pada perluasan ruang talenta. Hingga pekan ketiga Juli 2025, tercatat 1.318.615 siswa dari seluruh Indonesia mendaftar beragam ajang talenta nasional—angka yang menunjukkan animo sekaligus akses yang kian merata lintas jenjang dan daerah. Kompetisi yang inklusif tidak hanya mengapresiasi pemenang, melainkan membuka panggung seluas-luasnya agar setiap murid punya kesempatan menunjukkan potensi. Di sini, kebijakan talenta bertemu filosofi “setiap anak istimewa”—dan negara memastikan panggungnya tersedia.
Di level global, diplomasi pendidikan juga diarahkan untuk memperkuat sekolah ramah lingkungan. Pada APEC Education Ministerial Meeting ke-7 di Jeju (13–15 Mei 2025), Kemendikdasmen menjajaki kerja sama energi terbarukan, pengelolaan sampah, dan model sekolah hijau dengan Pemerintah Provinsi Jeju. Ini bukan sekadar branding hijau; ia relevan dengan budaya belajar baru: sekolah sebagai ruang hidup yang sehat, efisien energi, dan mendidik kebiasaan ekologis sejak dini. Kemitraan ini menjanjikan transfer teknologi dan praktik baik yang bisa diadopsi ke vokasi, menyiapkan generasi yang tangguh menghadapi krisis iklim.

Redaksi menilai langkah-langkah tersebut sebagai sinyal kuat pergeseran dari jargon ke kinerja. Visi “bermutu untuk semua” diderivasi ke tiga poros kebijakan: (1) tata kelola penerimaan yang adil dan akuntabel (SPMB), (2) afirmasi dan layanan pendidikan inklusif bagi disabilitas, serta (3) lingkungan belajar yang sehat dan berkelanjutan melalui sekolah hijau. Ketiganya saling menguatkan: keadilan akses menuntut adaptasi layanan; adaptasi layanan membutuhkan investasi kompetensi guru dan infrastruktur; investasi itu berbuah optimal bila sekolah menjadi ekosistem yang sehat—fisik maupun sosial.
Meski demikian, beberapa catatan perbaikan patut disampaikan. Pertama, keberlanjutan SPMB harus dijaga melalui dashboard keterbukaan data lintas provinsi: kuota, pendaftar, komposisi jalur, hingga hasil seleksi. Publik berhak memantau apakah afirmasi bagi disabilitas, miskin, dan daerah tertinggal benar-benar terwujud. Kedua, program rekrutmen dan peningkatan kompetensi guru pendidikan khusus perlu target tahunan yang jelas—misalnya rasio guru berkompetensi pendidikan inklusif per sekolah—disertai dukungan pendanaan daerah. Ketiga, implementasi sekolah hijau sebaiknya ditautkan dengan kurikulum proyek profil pelajar Pancasila: energi surya bukan hanya terpasang di atap, tetapi juga menjadi bahan ajar lintas mata pelajaran yang kontekstual. Keempat, partisipasi masyarakat sipil—NU, Muhammadiyah, komunitas disabilitas, dan organisasi orang tua—harus diinstitusikan dalam forum konsultasi kebijakan agar prinsip “untuk semua” benar-benar lahir dari suara semua.
Pada akhirnya, ukuran keberhasilan kebijakan bukan di konferensi pers, melainkan di kelas-kelas di mana anak dari keluarga buruh, difabel, dan warga pelosok duduk berdampingan, belajar dengan guru yang siap, dan pulang dengan rasa percaya diri. Data awal menunjukkan arah yang benar: reformasi penerimaan yang lebih adil, perluasan panggung talenta hingga jutaan siswa, serta diplomasi pendidikan yang pragmatis. Pekerjaan berikutnya adalah konsistensi eksekusi dan keterbukaan evaluasi.
Abdul Mu’ti memulai babak baru Kemendikdasmen dengan menegakkan standar: kebijakan harus berpihak, berbasis bukti, dan komunikatif. Jika standar ini dijaga, publik pantas berharap—bukan pada “resep instan”—melainkan pada proses yang bisa diawasi dan diperbaiki bersama. Itulah makna “inklusifitas kerja nyata”: pemerintah membuka akses, menata sistem, mengajak kolaborasi, dan mengizinkan publik memeriksa hasilnya. Dalam pendidikan, itulah cara paling jujur untuk menghormati masa depan.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha