
PWMJATENG.COM – Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, muncul keinginan kuat membentuk organisasi kepanduan yang bersatu dan mencakup seluruh wilayah Indonesia, tanpa terpecah ke dalam banyak kelompok.
Sebulan setelah proklamasi, tepatnya pada September 1945, para pimpinan berbagai organisasi kepanduan berkumpul di Balai Mataram, Yogyakarta. Organisasi yang hadir antara lain Hizbul Wathan (HW), Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI), Satuan Indonesia Angkatan Pandu (SIAP), NATIPI, Tri Darma, Kepanduan Katolik Indonesia (KAKI), dan Pandu Kasultanan.
Pertemuan ini dihadiri tokoh-tokoh penting, seperti Abdul Gani Dwidjosuparto, H.M. Mawardi, dan Haiban Hadjid. Hasilnya, disepakati pembentukan panitia kesatuan kepanduan untuk seluruh bangsa Indonesia.
Dukungan Ki Hadjar Dewantara
Cita-cita persatuan kepanduan mendapat dukungan Ki Hadjar Dewantara melalui tiga utusannya. Ia berharap para bekas pemimpin kepanduan menghidupkan kembali gerakan kepanduan yang pernah direbut dari Jepang.
Panitia di Yogyakarta diberi tugas menjalin kontak dengan kepanduan di Surakarta yang telah siap menerima anjuran tersebut. Sementara itu, utusan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan bertugas menghubungi kepanduan lain di berbagai daerah serta meminta dukungan instansi pemerintah dan masyarakat.
Kongres Persatuan di Surakarta
Langkah ini berujung pada pertemuan besar di Surakarta, 27–29 Desember 1945, yang dihadiri sekitar 300 orang dari berbagai organisasi: HW, KBI, SIAP, NATIPI, JPO, KAKI, Kepanduan Rakyat Indonesia, Pandu Kasultanan, Pandu Indonesia, dan Pandu Pasundan.
Kongres memutuskan pembentukan Pandu Rakyat Indonesia pada 28 Desember 1945, dengan dasar:
- Ketuhanan Yang Maha Esa
- Perikemanusiaan
- Kebangsaan
- Demokrasi/Kedaulatan Rakyat
- Keadilan Sosial
Para pemimpin kepanduan mengikrarkan Janji Ikatan Sakti, berisi:
- Melebur semua perkumpulan kepanduan ke dalam Pandu Rakyat Indonesia.
- Tidak menghidupkan kembali organisasi lama.
- Menetapkan 28 Desember sebagai Hari Pandu Indonesia.
- Menyatukan warna setangan leher menjadi hitam.
Pembinaan Pandu Rakyat Indonesia
Pengurus Kwartir Besar Pandu Rakyat Indonesia terdiri atas dr. Santo Sugandi Hertog, S. Supomo, Kartowinoto, Jatmika Anyokrokusumo (KBI), Abdul Gani dan Jumadi (HW), serta Sumardjo dan Sudibyo (K).
Mereka memajukan gerakan kepanduan melalui kursus pemimpin, pelatihan guru, dan penilik sekolah. Kongres pertama pada Desember 1948 di Surakarta menghasilkan pengesahan dari pemerintah, pembuatan anggaran dasar, serta pelatihan pemimpin pertama di Ambarwinangun, Yogyakarta.
Presiden Sukarno menjadi pelindung Pandu Rakyat Indonesia pada 23 Maret 1947. Namun, agresi militer Belanda 1947 dan 1948, serta pemberontakan PKI Madiun, mengganggu pembinaan kepanduan.
Kebangkitan Kembali Hizbul Wathan
Kongres kedua Pandu Rakyat Indonesia pada 22 Januari 1950 di Yogyakarta memberi kesempatan bagi organisasi lama untuk hidup kembali, termasuk Hizbul Wathan.
Baca juga, Membaca Fenomena Tirakatan Jelang 17 Agustus di Tengah Masyarakat
Kebangkitan HW didorong oleh amanat Jenderal Sudirman kepada H.M. Mawardi, Haiban Hadjid, dan Zudjron Dahlan. Ia berpesan agar HW kembali menjadi wadah pendidikan cinta tanah air dan kader penyebar dakwah Islam.
Muhammadiyah menegaskan bahwa HW akan menjadi kader penyebar Islam, bukan alat politik. HW kembali berdiri pada 29 Januari 1950, bertepatan dengan wafatnya Jenderal Sudirman.
Peran HW dalam Federasi Kepanduan
Pada 16 September 1951 dibentuk federasi Ikatan Pandu Indonesia (Ipindo). HW menjadi salah satu anggotanya dengan H.S. Broto sebagai wakil. Namun, Pemilu 1955 membuat sebagian anggota kepanduan larut dalam kampanye politik, sehingga pembinaan terabaikan.
Seminar di Tugu, Bogor, 21–24 Januari 1957, yang dihadiri Presiden Sukarno dan dipimpin Pandu Agung Sri Sultan Hamengku Buwono IX, menegaskan pendidikan kepanduan tetap relevan.
Peleburan ke dalam Gerakan Pramuka
Pada 1959, Menteri Pendidikan Prof. Dr. Priyono mengusulkan penyamaan kepanduan dengan Pionir di negara komunis. Hal ini mendorong Presiden Sukarno mempersatukan kepanduan menjadi Gerakan Pramuka melalui Keppres Nomor 238 Tahun 1961.
Pada 9 Maret 1961, di Istana Merdeka, pertemuan memutuskan pembubaran semua organisasi kepanduan, termasuk HW. Muhammadiyah melalui keputusan 15 Maret 1961 menyatakan mematuhi perintah tersebut dan meniadakan HW.
Masa transisi diatur melalui surat Majelis HW, yang menginstruksikan agar latihan tetap berjalan, kepanduan memelopori kegiatan kemasyarakatan, dan menjadi sarana dakwah Islam.
Akhir Masa HW di Era Orde Lama
Dengan sistem Demokrasi Terpimpin dan sentralisasi di semua bidang, seluruh organisasi kepanduan dilebur menjadi satu, yaitu Gerakan Pramuka, di bawah kendali pemerintah. Sejak saat itu, eksistensi HW sebagai organisasi kepanduan berhenti, melebur sepenuhnya dalam Gerakan Pramuka.
Di atara aktivis/ pemimpin Hizbul Wathan mencoba memanfaatkan organisasi kepanduan yang baru (Pramuka) dengan jalan mencoba mengisi Roh pramuka dengan keIslaman. Mereka membentuk “PRACHUSI ” pramuka khusus untuk anggota yang beragama Islam. Dalam misinya perkembangan pesat. Namun dari pihak atasan yang berwenang upaya ini dicurigai dan akhimya mengalami hambatan dan ” PRACHUSI” tidak diizinkan berkembang. Dengan alasan nasionalisme maka Pramuka untuk semua jenis
pemuda dan agama dari berbagai latar belakang sosial dan budaya.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha