
PWMJATENG.COM, Surakarta – Guru Besar Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Mochamad Solikin, menyoroti kasus ambruknya mushala di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny, Sidoarjo, yang terjadi pada Senin (29/9) sore. Insiden itu berlangsung ketika jamaah sedang melaksanakan salat Asar. Bangunan yang masih dalam tahap pembangunan tersebut roboh tak lama setelah proses pengecoran lantai tiga selesai dilakukan sejak pagi hingga siang hari.
Menurut Solikin, kegagalan konstruksi dapat menimpa berbagai jenis bangunan, baik yang sederhana maupun bertingkat. “Meskipun bangunan tampak sederhana, kegagalan tetap bisa terjadi jika perencanaan dan pelaksanaan tidak sesuai dengan kaidah konstruksi,” ujarnya saat ditemui pada Minggu (5/10).
Ia menjelaskan, fenomena kegagalan konstruksi bukanlah hal baru. Kasus serupa juga pernah terjadi di Indonesia dan luar negeri, seperti runtuhnya pilar tol Becakayu dan jembatan Tacoma di Amerika Serikat. Menurutnya, peristiwa semacam ini menunjukkan bahwa bangunan apa pun bisa gagal jika aspek teknis diabaikan.
Untuk mengetahui penyebab pasti runtuhnya mushala di Sidoarjo, Solikin menilai perlu dilakukan forensic engineering—yakni pemeriksaan teknis menyeluruh layaknya autopsi pada dunia medis. Proses ini bisa mengungkap letak kesalahan, apakah berada pada tahap desain, penggunaan material, atau pelaksanaan di lapangan.
“Dalam tahap desain, semua dokumen harus diperiksa secara cermat. Mulai dari pondasi, ukuran balok dan kolom, hingga kualitas baja tulangan. Desain yang benar akan menghasilkan struktur yang aman. Namun, jika dari awal ada kekeliruan, potensi gagal akan sangat besar,” jelasnya.
Solikin juga menyoroti pentingnya disiplin dalam tahap pelaksanaan. Ia menegaskan, beton yang baru dicor tidak boleh langsung dibebani atau dibuka bekistingnya. “Biasanya beton plat dan balok baru bisa dibuka setelah 21 hari. Kalau lebih cepat, risikonya sangat tinggi,” tegasnya.
Baca juga, Muhammadiyah Umumkan Jadwal Puasa Ramadan 2026, Catat Tanggal Resminya!
Faktor material, lanjutnya, juga berperan besar. Ia mencontohkan kasus jembatan di Kalimantan yang runtuh akibat penggunaan baja dengan kualitas di bawah standar. Karena itu, material harus diuji kelayakannya sebelum digunakan. “Label SNI saja tidak cukup tanpa pengujian langsung,” imbuhnya.
Lebih jauh, Solikin menegaskan pentingnya keterlibatan tenaga profesional dalam setiap proyek konstruksi. Ia menyebut ada tiga pihak yang wajib dilibatkan, yaitu perencana, kontraktor, dan pengawas. “Kontraktor tidak boleh mengawasi dirinya sendiri. Harus ada konsultan pengawas resmi yang kompeten agar kualitas dan keselamatan terjamin,” katanya.
Sayangnya, ia mengakui bahwa masyarakat kerap mengabaikan prosedur tersebut, terutama dalam pembangunan fasilitas umum dengan dana terbatas. Padahal, meski kegagalan konstruksi tidak sering terjadi, dampaknya bisa sangat fatal.
Sebagai akademisi, Solikin menuturkan bahwa Fakultas Teknik UMS memiliki komitmen untuk membantu masyarakat dalam bidang pendampingan teknis. “Kami pernah menilai kelayakan gedung pasca kebakaran, mengevaluasi struktur yang dialihfungsikan, hingga mendampingi pembangunan baru. Itu bagian dari pengabdian kami kepada masyarakat,” ungkapnya.
Ia menambahkan, UMS juga memiliki program pengabdian masyarakat yang memungkinkan dosen dari berbagai bidang, termasuk Teknik Sipil, memberikan bantuan teknis kepada lembaga pendidikan maupun keagamaan. Masyarakat yang membutuhkan pendampingan dapat menghubungi Fakultas Teknik UMS. “Kami siap membantu sesuai kapasitas akademik kami,” ujarnya.
Menutup pernyataannya, Solikin mengingatkan bahwa pembangunan harus selalu melibatkan tenaga ahli. “Kegagalan bangunan bukan sekadar kerugian material, tapi juga bisa merenggut nyawa. Karena itu, mari taati standar dan libatkan tenaga ahli sejak awal,” pungkasnya.
Kontributor : Yusuf
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha