Sastra

Cerpen: Jejak Kaki di Jalan Berdebu

Cerpen: Jejak Kaki di Jalan Berdebu

Oleh : Dwi Taufan Hidayat (Penasehat Takmir Mushala Al-Ikhlas Desa Bergas Kidul Kabupaten Semarang, Sekretaris Korps Alumni PW IPM/IRM Jawa Tengah, & Ketua Lembaga Dakwah Komunitas PCM Bergas Kabupaten Semarang)

PWMJATENG.COM – Mbah Niti duduk bersandar di sudut rumahnya yang reyot. Di lantai tanah yang dingin, ada sepiring kecil kerak nasi yang sudah mengeras. Matanya yang buram menatap piring itu dengan pasrah. Sore ini, tak ada yang membeli kerupuknya. Lagi.

Tangan rentanya meraba-raba piring, jari-jarinya yang gemetar mengambil sejumput kerak nasi, mengunyahnya perlahan. Giginya yang sudah ompong membuatnya kesulitan, tapi ia tetap mengunyah. Satu-satunya makanan yang bisa ia dapatkan hari ini.

Ia menarik napas panjang. Sudah berapa kali ini terjadi? Entah berapa kali ia pulang dengan tangan kosong, tak mampu membawa sekepal beras pun untuk dimasak. Tapi ia sudah terbiasa. Kesedihan telah menjadi teman lama yang selalu menemaninya.

Beberapa jam sebelumnya, Mbah Niti berjalan terseok di gang sempit dekat pasar. Kerupuk yang ia jinjing dalam keranjang mulai kehilangan bentuknya. Udara siang begitu panas, membuat tubuhnya yang lemah semakin kelelahan.

“Kerupuk… kerupuk… beli kerupuk, Nak,” suaranya serak memanggil orang-orang yang lalu lalang.

Namun, tak ada yang menoleh. Beberapa hanya melirik sekilas, lalu kembali sibuk dengan urusan masing-masing.

Langkahnya semakin berat. Tongkat kayu lusuhnya menjadi satu-satunya penopang agar tubuhnya tak jatuh ke tanah. Kakinya sudah tak sekuat dulu. Kedua matanya juga semakin buram.

Tiba-tiba, kakinya tersandung batu kecil. Tubuhnya oleng ke depan, dan sebelum sempat menahan diri, ia jatuh tersungkur. Kerupuk-kerupuk yang ia bawa berserakan di jalanan yang berdebu.

“Astaghfirullah, Mbah!” seorang pemuda buru-buru membantunya berdiri.

Mbah Niti meringis. Lututnya terasa perih, tangannya gemetar. Namun lebih dari itu, ia merasa pedih melihat kerupuknya yang kini berhamburan, tak bisa lagi dijual.

Pemuda itu mengumpulkan kerupuk yang masih bersih, memasukkannya ke dalam kantong plastik. “Mbah, dagangan Mbah jatuh semua…” suaranya terdengar lirih.

Mbah Niti menatap kantong plastik itu. Napasnya berat. “Iya, Nak… mungkin belum rezekinya.”

Pemuda itu mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu dari dompetnya dan menyelipkannya ke tangan Mbah Niti. “Ini buat Mbah, buat beli makan nanti.”

Mbah Niti menatap uang itu lama, lalu menolak dengan lembut. “Terima kasih, Nak… tapi Mbah masih bisa jualan besok.”

Pemuda itu terdiam. Ia melihat mata Mbah Niti yang keruh, tapi penuh keteguhan.

Pagi tadi, sebelum berangkat berjualan, Mbah Niti mengikat erat keranjang kerupuknya. Udara pagi terasa dingin, embusan angin menyelinap lewat celah-celah dinding bambu rumahnya.

Baca juga, Membangun Rasa Cinta Seorang Hamba kepada Sang Pencipta

Di sudut dapur, panci berisi bubur sisa kemarin masih tertutup rapat. Bubur itu sudah mulai basi, tapi ia tetap menyimpannya. Jika hari ini tak ada yang membeli kerupuknya, ia masih bisa memakan itu.

Ia menatap bayangannya di cermin pecah di dinding. Wajahnya penuh keriput, tubuhnya semakin membungkuk, rambut putihnya acak-acakan. Di usianya yang hampir satu abad, ia masih harus berjuang sendiri.

Di hatinya, ia berharap hari ini lebih baik. Tapi ia tahu, harapan seperti itu terlalu mewah baginya.

Malam sebelumnya, Mbah Niti duduk di ambang pintu rumahnya. Langit di atas begitu gelap, tak ada bintang. Rumah-rumah di sekitarnya mulai sepi, suara orang-orang berbincang di dalam rumah terdengar samar.

Ia melirik ke dalam rumah. Kosong. Tak ada siapa pun selain dirinya sendiri.

Teringat kembali tiga anaknya yang kini entah di mana. Sudah lama mereka tak datang. Tak ada kabar, tak ada kunjungan. Ia tahu, mereka juga berjuang untuk hidup mereka sendiri. Tapi, ada rindu yang tak bisa ia bohongi.

Ia menghela napas panjang, memeluk dirinya sendiri.

Besok, ia akan berjualan lagi. Besok, ia akan mencoba lagi. Sampai kapan pun. Sampai ia tak sanggup lagi berdiri.

Dan kini, ia kembali menatap piring berisi kerak nasi itu. Mengambilnya dengan pelan, mengunyahnya dengan sabar.

Di luar, langit mulai gelap. Angin malam berembus pelan, masuk lewat celah dinding rumahnya yang rapuh.

Mbah Niti menatap kosong ke depan, matanya yang buram mencoba menembus kegelapan.

Ia tak tahu apakah besok akan lebih baik.

Atau mungkin, besok ia tak akan bangun lagi.

Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE