Baru Akan Pulih, Baru Mau Bangkit, Rakyat Kembali Dibuat Sakit!
Oleh : Naufal Abdul Afif (Kabid Hikmah, Politik dan Kebijakan Publik PC IMM Kendal)
PWMJATENG.COM – Bangsa ini baru saja merayakan kemerdekaan, dan kita bersama-sama merasakan kegembiraan dengan mengucapkan, “Dirgahayu Republik Indonesia Ke 77 – Pulih lebih cepat, bangkit lebih kuat.” Itulah tema yang di usung oleh pemerintah dalam HUT RI ke 77 ini.
Masih sangat melekat dikepala, pidato kemerdekaan di Istana Negara, pada Rabu 17 Agustus yang lalu. Bapak Presiden Joko Widodo mengatakan, “Tantangan yang kita hadapi sangat berat. Semua negara, di seluruh dunia, sedang menghadapi ujian. Krisis kesehatan akibat pandemi Covid-19 belum sepenuhnya pulih. Perekonomian dunia belum sepenuhnya bangkit. Tiba-tiba meletus perang di Ukraina, sehingga krisis pangan, krisis energi, dan krisis keuangan tidak terhindarkan lagi. Seratus tujuh negara terdampak krisis, sebagian di antaranya diperkirakan jatuh bangkrut. Diperkirakan 553 juta jiwa terancam kemiskinan ekstrem, dan 345 juta jiwa terancam kekurangan pangan dan kelaparan.”
Rakyat faham dan sadar dengan keadaan yang sedang dihadapi, semua rakyat sedang merasakan ujian, yang kita butuhkan adalah kesolidan dan kekompakan untuk dapat pulih dan bangkit. Namun dalam proses untuk pulih dan kembali bangkit, ternyata rakyat dibuat sulit dan menjerit. Pemerintah tega menaikkan harga Bahan bakar minyak (BBM) di tengah keterpurukan yang belum sepenuhnya sirna dirasakan rakyat Indonesia.
Baca juga, Wacana Kenaikan BBM, Fenomena Panic Frenzeis Merajalela
Apa sebenarnya yang dipikirkan oleh pemerintah? Apakah pemerintah ingin berpartisipasi mewujudkan 553 Juta Jiwa miskin? Atau ingin menyukseskan 345 juta jiwa kekurangan pandan dan kelaparan? Tentu yang bisa menjawab pertanyaan tersebut hanya mereka-mereka yang sedang menjabat pada hari ini.
Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dinilai akan memicu kenaikan harga di berbagai sektor. Tidak hanya memicu kenaikan biaya transportasi saja, melainkan juga akan membuat seluruh harga bahan-bahan logistik meningkat. Dan dampaknya masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, kemiskinan akan melambung tinggi.
Opsi menaikkan harga BBM bukanlah pilihan yang tepat saat ini. Karena hal tersebut pasti akan menyulut inflasi. Kenaikan harga BBM juga dinilai akan menurunkan daya beli, apabila daya beli masyarakat menurun, maka pertumbuhan ekonomi juga pasti akan menurun, hal ini karena konsumsi masyarakat adalah komponen terbesar dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Padahal dalam alenia pidato kemerdekaan 17 Agustus yang lalu, presiden mengatakan, “APBN kita surplus Rp106 triliun. Oleh karena itu, Pemerintah mampu memberikan subsidi BBM, LPG, dan Listrik, sebesar Rp502 triliun di tahun 2022 ini, agar harga BBM di masyarakat tidak melambung tinggi.”
Maka bagi kita pemerintah dirasa abai, karena krisis yang belum juga usai sudah kembali dimulai, dengan kebijakan untuk menambah beban bagi rakyat. Pemerintah sedang menjilat ludahnya sendiri, ia berbangga diri, seolah mempunyai prestasi, padahal apa yang ia katakan di hari kemerdekaan, telah dan langsung ia batalkan dengan sebuah kebijakan yang menyengsarakan.