
PWMJATENG.COM, Surakarta – Jakarta dan Bekasi kembali dilanda banjir besar akibat luapan sungai yang merendam banyak wilayah. Menurut laporan CNN Indonesia, hingga Rabu (5/3), sebanyak 89 RT di Jakarta terendam banjir. Sementara itu, berdasarkan pemberitaan Tempo.com pada Kamis (6/3), 10 dari 12 kecamatan di Bekasi juga mengalami hal serupa.
Dosen Arsitektur Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Indrawati, menjelaskan bahwa air tidak dapat dibatasi oleh administrasi wilayah karena mengikuti alur Daerah Aliran Sungai (DAS). Air yang mengalir dari hulu akan melewati berbagai wilayah hingga menuju laut. Dengan demikian, daerah yang dilewati akan terdampak oleh kondisi air tersebut.
Ia memberikan contoh bahwa meskipun daerah tangkapan air di Tawangmangu tidak mengalami banjir, daerah di hilir seperti Solo tetap bisa terkena dampaknya. Menurutnya, ada beberapa faktor utama yang menyebabkan banjir, yaitu curah hujan tinggi, tata guna lahan yang tidak terkendali, dan perilaku manusia.
“Jika run-off tinggi, potensi banjir semakin besar. Saat ini sudah ada kebijakan Zero Delta Q Policy untuk memastikan tidak ada peningkatan debit air ke saluran drainase atau sungai akibat pembangunan,” kata Indrawati, Kamis (6/3).
Kebijakan ini mewajibkan agar kawasan atas tidak membuang air ke badan air umum, melainkan harus meresapkan air di lokasi tersebut. Namun, implementasinya masih menemui kendala.
“Sulit karena sudah banyak keterlanjuran dalam tata ruang,” ujarnya.
Ia juga menyoroti kondisi bantaran sungai yang seharusnya menjadi wadah banjir. Sayangnya, di Jakarta dan Bekasi, bantaran sungai sudah berubah menjadi permukiman padat.
“Jangankan sempadan sungai, bantarannya saja sudah penuh rumah. Kalau ada air, mau lari ke mana?” kritiknya.
Baca juga, Keutamaan Sahur: Sumber Keberkahan dan Kunci Energi Puasa
Secara aturan, sempadan sungai memiliki peta tata ruang yang mengatur zona larangan pembangunan. Namun, kenyataan di lapangan berbeda karena banyak permukiman sudah berdiri di area tersebut.
“Kalau pemerintah ingin mengembalikan fungsi lahan sesuai aturan, berarti harus ada relokasi. Tapi biayanya sangat besar,” jelas Indrawati.

Ia menambahkan bahwa tata ruang memiliki ketentuan untuk direvisi setiap lima tahun agar sesuai dengan perkembangan kota. Namun, perilaku masyarakat yang masih membuang sampah sembarangan ke sungai semakin memperparah kondisi banjir.
Sebagai solusi, Indrawati merekomendasikan penerapan sistem drainase ekologis, seperti biopori, sumur resapan, embung, atau kolam retensi. Konsep ini memungkinkan air meresap ke tanah sebelum dialirkan ke sungai sehingga dapat mengurangi risiko banjir.
“Jakarta di era Anies Baswedan sudah menerapkan drainase ekologis dan terbukti dapat mengurangi banjir,” ungkapnya.
Selain itu, metode rainwater harvesting atau panen air juga penting untuk menambah cadangan air tanah. Indrawati juga mendukung upaya pengerukan sungai dan pembangunan sungai buatan untuk menambah kapasitas drainase.
“Jika volume air yang harus dibuang dalam satu jam mencapai angka tertentu, maka perlu dibuat saluran dengan kapasitas debit yang sesuai,” tuturnya.
Namun, ia mengakui bahwa pembangunan sungai buatan di kota besar seperti Jakarta dan Bekasi sulit dilakukan karena keterbatasan lahan. Dengan kondisi saat ini, langkah yang paling realistis adalah mengoptimalkan sistem drainase dan menegakkan aturan tata ruang secara ketat.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha