Antara Kebencian, Intoleran, dan Moderasi Agama
Oleh : Riza A. Novanto, M.Pd*
PWMJATENG.COM – Jagad maya sedang tidak baik-baik saja, lantaran mantan Kepala LAPAN Thomas Djamaluddin dan PNS BRIN Andi Pangerang Hasanuddin (APH) telah berkomentar negatif tentang Muhammadiyah di sosial media facebook. Awalnya, Thomas berkomentar bahwa Muhammadiyah sudah tidak taat pada keputusan Pemerintah karena menetapkan Hari Raya Idulfitri 1444 H berbeda dengan penetapan Pemerintah. Komentar Thomas itu dibalas oleh akun AP Hasanuddin dengan nada sinis dan mengancam. Beberapa komentar yang diunggah oleh AP Hasanuddin terkait perbedaan itu pun ramai di media sosial hingga mengancam membunuh warga Muhammadiyah satu per satu.
Kasus diatas tentunya tidak mencerminkan sebagai seorang peneliti di BRIN bahkan Thomas Djamaluddin yang menyandang gelar Profesor pun tidak sepantasnya dengan mudah menghasut dan membuat gaduh di media sosial sehingga menarik banyak komentar lainnya. Jika APH diberikan sangsi Thomas juga harus disangsi sebab dialah pemicu utama yang membuat komentar APH mengancam.
Distorsi Diskusi melalui Media Sosial
Media sosial memainkan peran penting dalam cara orang berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain, tetapi juga dapat menyebabkan distorsi dalam diskusi. Adapun beberapa contoh distorsi diskusi melalui media sosial di antaranya:
Pertama, echo chamber. Echo chamber terjadi ketika seseorang hanya berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki pandangan yang sama dengan dirinya di media sosial. Ini membuat seseorang hanya mendapatkan informasi yang disaring dan disaring ulang yang dapat memperkuat keyakinannya sendiri, dan tidak lagi mendapatkan pandangan yang beragam dan dapat menantang.
Kedua, filter bubble. Filter bubble adalah efek di mana algoritma media sosial memilihkan konten yang kita lihat berdasarkan preferensi kita. Ini dapat menyebabkan kita hanya melihat konten yang mengkonfirmasi pandangan kita, dan tidak lagi terbuka pada pandangan yang berbeda atau pandangan baru yang mungkin dapat mengubah pandangan kita. Ketiga, Toxicity Toxicity terjadi ketika diskusi di media sosial menjadi toksik dan tidak konstruktif. Ini sering terjadi ketika pengguna menjadi anonim, membuat mereka merasa dapat mengeluarkan komentar yang kasar dan tidak sopan tanpa akibatnya.
Keempat, confirmation bias. Hal ini terjadi ketika seseorang cenderung mencari dan mengingat informasi yang mendukung pandangan yang sudah dimilikinya, dan mengabaikan informasi yang bertentangan dengan pandangannya. Hal ini dapat menyebabkan kesalahpahaman dan kesulitan untuk mencapai kesepakatan dalam diskusi.
Kelima, polarization. Hal ini terjadi ketika diskusi di media sosial memperkuat perbedaan pandangan, meningkatkan perpecahan dan memperkuat garis pemisah antara kelompok yang berbeda. Hal ini dapat menyebabkan ketidakmampuan untuk mencapai kesepakatan dan kesulitan untuk menyelesaikan perbedaan.
Dalam rangka meminimalisir distorsi diskusi melalui media sosial, kita perlu berusaha untuk terbuka pada pandangan yang berbeda, mencari informasi dari sumber yang beragam, dan berusaha untuk mempertahankan diskusi yang konstruktif dan santun.
Ujaran Kebencian dan Intoleransi Masalah Serius
Ujaran kebencian dan intoleransi di Indonesia telah menjadi masalah serius dalam beberapa tahun terakhir. Beberapa contoh ujaran kebencian dan intoleransi di Indonesia diantaranya:
Pertama, diskriminasi suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Diskriminasi terhadap suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) masih terjadi di Indonesia. Contohnya diskriminasi terhadap minoritas agama yang seringkali menjadi korban kekerasan dan pelecehan.
Kedua, hate speech atau ujaran kebencian juga seringkali terjadi di Indonesia. Sebagai contoh ujaran kebencian yang ditujukan kepada orang tertentu atau suatu kelompok karena perbedaan pandangan politik, agama, atau suku bangsa.
Untuk mengatasi ujaran kebencian dan intoleransi di Indonesia, perlu ada upaya bersama dari pemerintah, masyarakat, dan media. Pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan yang lebih ketat terhadap tindakan diskriminasi dan hate speech, serta memberikan edukasi yang lebih baik tentang toleransi dan pluralisme kepada masyarakat. Media juga harus lebih bertanggung jawab dalam memberikan liputan tentang isu SARA dan diskriminasi.
Baca juga, Sedang Ramai Cibiran Oknum BRIN, PP Muhammadiyah Imbau Warganya Tidak Terpancing
Fenomena minim adab netizen Indonesia cukup meresahkan dalam beberapa tahun terakhir yang menjadi salah satu penyebab hate speech. Netizen Indonesia seringkali terlalu mudah terpancing oleh berita bohong (hoax) dan cenderung menyebarkan berita tersebut tanpa melakukan verifikasi terlebih dahulu. Selain itu, banyak pula yang menyebarkan ujaran kebencian (hate speech) yang dapat memicu konflik dan merusak hubungan antar kelompok. Netizen Indonesia seringkali tidak menghargai pandangan orang lain, dan seringkali langsung menyerang dan mengkritik tanpa berpikir panjang. Hal ini dapat memicu perdebatan yang tidak konstruktif dan tidak membawa manfaat. Sebagai contoh dalam pandangan perbedaan penetapan 1 syawwal 1444 H yang terus bergulir hingga ada penolakan permohonon ijin tempat ibadah sholah idul fitri di beberapa daerah.
Memaknai Kembali Moderasi Agama
Moderasi agama merupakan upaya untuk mengurangi potensi konflik dan intoleransi yang timbul dari perbedaan agama dan keyakinan. Tujuan dari moderasi agama adalah untuk membangun pemahaman yang lebih baik antar umat beragama, sehingga dapat mengurangi ketegangan dan konflik yang terjadi di masyarakat. Jika berkaca pada kasus APH dan Thomas membuktikan bahwa pemahaman moderasi agama belum sepenuhnya dipahami secara utuh oleh keduanya, apalagi mereka bagian dari BRIN diaggap sebagai “gudangnya ilmu” yang dihasilkan dari berbagai riset.
Adapun fungsi moderasi agama dalam mengatasi intoleransi di Indonesia antara lain:
Pertama, mendorong dialog antar agama. Moderasi agama dapat mendorong terjadinya dialog antar agama, sehingga memungkinkan terciptanya pemahaman yang lebih baik antar umat beragama. Dalam dialog antar agama, umat beragama dapat saling bertukar pikiran dan pengalaman, sehingga dapat mengurangi kesalahpahaman dan meningkatkan toleransi.
Kedua, mendorong pengembangan pendidikan agama yang toleran. Moderasi agama juga dapat mendorong pengembangan pendidikan agama yang toleran, yang menekankan pentingnya menghormati perbedaan dan menjaga kerukunan antar umat beragama. Pendidikan agama yang toleran dapat membantu membentuk karakter peserta didik yang lebih inklusif dan memperkuat sikap toleransi dalam masyarakat.
Ketiga, meningkatkan kesadaran tentang toleransi dan kerukunan antar umat beragama. Moderasi agama dapat meningkatkan kesadaran tentang toleransi dan kerukunan antar umat beragama, sehingga masyarakat dapat lebih memahami pentingnya menghormati perbedaan agama dan menjaga kerukunan antar umat beragama. Hal ini dapat mengurangi terjadinya konflik dan memperkuat persatuan bangsa.
Keempat, meningkatkan peran ulama dalam mendorong toleransi. Moderasi agama juga dapat meningkatkan peran ulama dalam mendorong toleransi dan kerukunan antar umat beragama. Ulama dapat menjadi penggerak untuk mendorong dialog antar agama, memberikan edukasi tentang pentingnya toleransi, dan memperkuat kerjasama antar umat beragama dalam berbagai bidang.
Dengan adanya moderasi agama, diharapkan dapat tercipta masyarakat yang lebih toleran, inklusif, dan memperkuat kerukunan antar umat beragama. Hal ini akan membantu mengurangi konflik dan meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan demikian kasus ujaran kebencian Thomas dan APH harus menjadi perhatian serius dan usut tuntas agar hal ini tidak terjadi dikemudian hari, sebab jika tidak maka akan berakibat pada polarisasi yang semakin akut dan mencidrai keragaman budaya dan suku bangsa Indonesia yang sudah terbangun sejak berdirinya republik ini. Semoga ulasan singkat ini bisa menggugah para pembaca dalam memahami dampak media sosial, ujaran kebencian, intoleransi dan moderasi agama.
*Dosen STIKes Muhammadiyah Tegal
Editor : M Taufiq Ulinuha