Akulturasi Budaya dalam Tradisi Saparan “Yaqawwiyu”
Oleh : Rumini Zulfikar (Gus Zul) (Penasehat PRM Troketon, Anggota Bidang Syiar MPM PDM Klaten, Anggota Majelis MPI & HAM PCM Pedan)
PWMJATENG.COM – Tradisi Saparan “Yaqawwiyu” di Jatinom, Klaten, yang dilakukan oleh Kiai Ageng Gribig, memiliki pesan penting dalam mengimplementasikan nilai-nilai Islam melalui pendekatan budaya. Tradisi ini menjadi salah satu bentuk akulturasi budaya yang berhasil menyatukan rasa antar sesama umat manusia.
Suatu hari, penulis bersama istri, Mbah Ni, dalam perjalanan pulang dari Salatiga melewati Jatinom. Kami melihat seorang ibu yang menjual kue apem dan memutuskan untuk membeli serta mencicipi apem Yaqawwiyu. Ternyata, rasanya sangat enak dan gurih. Kue ini merupakan peninggalan dari Kiai Ageng Gribig, simbol akulturasi budaya yang mengajarkan pentingnya persatuan dalam keberagaman.
Tradisi Saparan Yaqawwiyu
Bagi masyarakat Klaten dan sekitarnya, memasuki bulan Sapar (Shafar) adalah momen penting dengan adanya tradisi tahunan yang digelar di sekitar makam Kiai Ageng Gribig. Perayaan Yaqawwiyu melibatkan berbagai kegiatan, mulai dari grebeg kue apem, arak-arakan di sepanjang jalan utama Jatinom, hingga puncak acara yang ditandai dengan sebaran kue apem Yaqawwiyu di area Sendang Plampeyan. Dahulu, sebaran ini dilakukan di Oro-Oro Tarwiyah, sebuah tanah lapang besar yang mengadopsi konsep Padang Arafah di Tanah Suci.
Tokoh di Balik Yaqawwiyu
Kiai Ageng Gribig adalah sosok ulama yang dikenal alim dan dihormati karena akhlak serta ilmunya. Berdasarkan catatan sejarah, Kiai Ageng Gribig masih keturunan Brawijaya dan memiliki keterkaitan dengan Sunan Giri, yang kemudian menurunkan tokoh Islam, KH Ahmad Dahlan. Kiai Ageng Gribig juga dikenal sebagai penasihat spiritual Raja Mataram di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Baca juga, Tidak Ada Paksaan dalam Beragama: Prinsip Toleransi dalam Islam
Tradisi Saparan Yaqawwiyu yang identik dengan kue apem memiliki asal usul yang menarik. Setelah menunaikan ibadah haji, Kiai Ageng Gribig membawa kue atau roti dari Tanah Suci. Saat tamu dan santrinya datang, ia meminta Nyai Ageng Gribig untuk membuat kue yang mirip dengan roti tersebut agar semua tamu bisa menikmati.
Peninggalan Kiai Ageng Gribig
Hingga kini, beberapa peninggalan Kiai Ageng Gribig masih dapat ditemukan, seperti makam Kiai Ageng Gribig, Masjid Alit, Masjid Besar, Oro-Oro Tarwiyah, Sendang Plampeyan, dan Gua. Sebagai umat Islam, kita sepatutnya menggali keteladanan dari sosok ulama ini yang telah banyak memberikan nilai pentingnya akulturasi budaya dalam menyebarkan Islam melalui budaya lokal yang tidak bertentangan dengan nilai tauhid.
Budaya dan agama saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Keduanya harus berjalan berdampingan untuk menciptakan harmoni dalam masyarakat.
Editor : M Taufiq Ulinuha