
PWMJATENG.COM, Surakarta – Pembangunan nasional yang berkeadilan seharusnya tidak hanya berputar di Pulau Jawa. Pesan itu disampaikan dengan tegas oleh akademisi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Zilhardi Idris, saat menyoroti arah kebijakan transportasi nasional yang dinilainya belum merata.
“Indonesia ini bukan hanya Jawa. Kalau infrastruktur terus dibangun di satu pulau, maka yang terjadi bukan kemajuan, tapi ketimpangan,” ujarnya membuka percakapan dengan nada serius, Jumat (17/10).
Dosen Teknik Sipil UMS tersebut menegaskan, pemerataan pembangunan transportasi adalah fondasi bagi mobilitas ekonomi bangsa. Namun, data yang ada menunjukkan kenyataan berbeda. Indeks aksesibilitas Indonesia masih rendah. Rasio panjang jalan terhadap luas wilayah, kata Zilhardi, hanya sekitar 250 meter per kilometer persegi.
“Bayangkan, 1 km² wilayah kita bahkan belum punya seperempat kilometer jalan. Itu artinya ada daerah-daerah yang nyaris tidak tersentuh roda pembangunan,” tegasnya di ruang kerjanya.
Menurutnya, rendahnya indeks mobilitas nasional menjadi pertanda bahwa masyarakat masih kesulitan bergerak, sementara konektivitas antarwilayah belum seimbang. “Kalau akses tertutup, ekonomi tidak jalan. Mobilitas rendah itu tanda stagnasi, bukan pembangunan,” ucapnya.
Baca juga, EMT Muhammadiyah Resmi Terverifikasi: Jadi yang Pertama di Indonesia, Kado Milad ke-113 Muhammadiyah
Zilhardi juga mengkritik tajam pola kebijakan pembangunan yang lebih berpihak pada kepentingan politik ketimbang kebutuhan publik. “Kebijakan publik seharusnya menjawab kebutuhan rakyat, bukan ambisi kekuasaan. Kita sering membangun tanpa arah, dengan analisis kelayakan yang dangkal, tanpa memperhitungkan aspek sosial dan budaya,” ujarnya menegaskan.

Kritiknya itu tak berhenti pada tataran wacana. Ia mencontohkan proyek Kereta Cepat Indonesia–China (KCIC) sebagai bukti lemahnya arah kebijakan. “Badan usaha milik negara itu milik rakyat, bukan milik kekuasaan. Tapi sekarang justru jadi beban rakyat. Kalau BUMN terus disuntik APBN, berarti ada yang gagal dalam perencanaan,” katanya.
Lebih jauh, Zilhardi menyoroti lemahnya koordinasi antar lembaga negara. Menurutnya, instansi seperti Bappenas, BPS, DPR, Kementerian PUPR, dan Kementerian Perhubungan kerap berjalan tanpa sinergi. “Kalau Bappenas diam, DPR pasif, dan data BPS tidak akurat, maka perencanaan nasional kehilangan nalar. Semua instrumen pemerintahan seharusnya bekerja kritis dan analitis, bukan sekadar menyetujui,” ujarnya dengan nada tajam.
Ia juga menyinggung lemahnya daya kritis akademisi di ruang publik. Banyak kalangan intelektual, katanya, justru memilih diam. “Kita sering takut bersuara. Padahal tugas intelektual bukan untuk menyenangkan penguasa, tapi menjaga nalar publik,” ucapnya.
Menurut Zilhardi, arah pembangunan nasional seharusnya berfokus pada tiga prioritas utama: pendidikan, kesehatan, dan transportasi yang adil serta terjangkau. Ketiganya adalah tanggung jawab negara yang tidak boleh diserahkan kepada mekanisme pasar. “Biaya transportasi kita mahal, mobilitas rendah, dan banyak wilayah masih terisolir. Maka pembangunan harus menjawab kebutuhan rakyat, bukan keinginan pemerintah yang sedang berkuasa,” tegasnya.
Kontributor : Al
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha