Hukum Membela Tanah Air
PWMJATENG.COM – Membela tanah air adalah kewajiban yang tidak hanya diatur dalam hukum negara, tetapi juga memiliki landasan yang kuat dalam ajaran Islam. Sebagai umat Islam, mencintai dan menjaga negara yang menjadi tempat tinggal serta tempat kita menjalani kehidupan merupakan bagian dari tanggung jawab moral dan agama. Dalam konteks ini, hukum membela tanah air bukanlah sekadar kewajiban sipil, tetapi juga termasuk dalam tuntunan agama yang mendalam.
Konsep Cinta Tanah Air dalam Islam
Islam mengajarkan umatnya untuk mencintai tanah air atau negara tempat mereka dilahirkan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi: “Cintailah tanah airmu, karena tanah airmu adalah tempat tinggalmu dan tempat di mana kamu dilahirkan.” Cinta tanah air merupakan bagian dari rasa syukur atas nikmat hidup yang diberikan Allah, karena tanah air adalah tempat yang memberikan perlindungan, kesejahteraan, dan keamanan bagi umat manusia.
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Hajj (22:39): “Diizinkan bagi orang-orang yang diperangi karena sesungguhnya mereka telah dizalimi, dan sesungguhnya Allah Maha Kuasa untuk memberi pertolongan kepada mereka.” Ayat ini menunjukkan bahwa Islam memandang pentingnya membela diri, termasuk membela tanah air dari ancaman dan kekerasan. Hukum membela tanah air dalam Islam sejalan dengan prinsip melindungi umat dan menjaga keharmonisan kehidupan dalam masyarakat.
Hukum Membela Tanah Air Menurut Fikih
Secara fikih, membela tanah air merupakan bagian dari jihad yang memiliki banyak dimensi. Jihad dalam konteks ini bukan hanya terbatas pada peperangan fisik, tetapi juga mencakup perjuangan mempertahankan nilai-nilai kebaikan yang ada di dalamnya. Jihad untuk membela tanah air dianggap sah dan bahkan menjadi kewajiban apabila negara atau masyarakat terancam oleh pihak luar atau kelompok yang ingin merusak kedamaian.
Dalam kitab Al-Majmu’ karya Imam Nawawi, dijelaskan bahwa “Jika musuh menyerang negara Islam dan berusaha untuk merusak tatanan sosial serta membunuh umat Islam, maka setiap individu yang mampu untuk berperang wajib turun tangan.” Hal ini menunjukkan bahwa dalam keadaan tertentu, membela tanah air dengan cara apapun, termasuk melalui peperangan yang sah, adalah bagian dari kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap umat Islam.
Namun, hukum ini hanya berlaku dalam kondisi tertentu, yakni apabila negara atau masyarakat berada dalam ancaman nyata. Islam juga menekankan pentingnya memilih jalan damai jika masih memungkinkan untuk mencapai perdamaian, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam Perjanjian Hudaibiyah.
Peran Pemerintah dalam Menjaga Tanah Air
Islam menempatkan pemerintah sebagai pengayom dan pelindung bagi umatnya. Sebagai seorang pemimpin, tugas utama pemerintah adalah menjaga keamanan negara dan warganya. Dalam konteks ini, pemerintah harus memastikan bahwa tanah air terlindungi dari segala bentuk ancaman, baik dari luar maupun dalam negeri. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta ulil amri di antara kamu” (QS. An-Nisa: 59). Ayat ini menegaskan bahwa menjaga tanah air adalah tugas bersama, yang harus dilaksanakan oleh pemerintah dan rakyat.
Baca juga, Pertemuan Hangat Wamen PPMI dan Ketua PWM Jawa Tengah: Ini Pesan Pentingnya!
Membela tanah air bukan hanya sekadar kewajiban duniawi, tetapi juga dapat menjadi bentuk ibadah. Hal ini dikarenakan niat dalam membela tanah air yang dilandasi dengan keikhlasan untuk menjaga kehormatan, keamanan, dan kesejahteraan umat manusia. Setiap tindakan yang dilakukan dengan niat yang baik dan dalam kerangka menjaga kemaslahatan umat dapat dianggap sebagai amal saleh yang berpahala di sisi Allah.
Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin menyatakan bahwa “Setiap usaha yang dilakukan untuk mempertahankan kebaikan dan menghindarkan keburukan adalah bagian dari jihad yang diterima oleh Allah.” Dengan demikian, membela tanah air yang tujuannya untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, serta melindungi masyarakat dari ancaman, termasuk dalam kategori jihad fi sabilillah.
Pandangan dan Sikap Kebangsaan Muhammadiyah
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, menegaskan bahwa Muhammadiyah benar-benar percaya bahwa Islam merupakan agama yang mengandung nilai-nilai kemajuan. Islam adalah agama kemajuan (din al-hadlahrah) yang diturunkan untuk mewujudkan kehidupan umat manusia yang tercerahkan dan membawa rahmat bagi semesta alam. Sebagai bagian dari pemikiran ini, Muhammadiyah berusaha mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan dalam setiap langkahnya.
Pandangan dan sikap kebangsaan Muhammadiyah sejalan dengan wawasan kemanusiaan universal, sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Al-Hujurat/49:13).
Wawasan kebangsaan dan kemanusiaan ini juga sesuai dengan misi dakwah Muhammadiyah, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an yang artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma‘ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran/3:104).
Selama lebih dari satu abad, Haedar Nashir menjelaskan, karakter Muhammadiyah sebagai gerakan Islam semakin kuat. Semua usaha Muhammadiyah diarahkan untuk kemajuan umat manusia. “Usaha-usaha yang dilakukan Muhammadiyah untuk perdamaian, kemanusiaan, dan kemasyarakatan serta berbuat kebajikan untuk semua merupakan aktualisasi dari spirit menghadirkan ajaran Islam sebagai ‘Din al-‘Amal wa Tanwir’, yakni agama yang membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan,” ujarnya.
Spirit kemanusiaan ini juga dilandasi oleh ajaran Islam sebagai ‘Din al-Salam’, yaitu agama untuk perdamaian dan keselamatan hidup bersama. Dalam konteks universal, Muhammadiyah berusaha menghadirkan Islam sebagai ‘rahmatan lil-‘alamin’, agama untuk kebaikan seluruh umat manusia di alam semesta, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Al-Karim: “Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (QS Al Anbiya: 107).
Bagi Muhammadiyah, Islam sebagai agama ‘rahmatan lil-‘alamin’ tidak hanya disampaikan melalui kampanye slogan dan kata-kata, tetapi diwujudkan dalam bentuk usaha-usaha nyata yang memajukan kehidupan bersama. “Inilah gerakan Muhammadiyah bagi semua,” tegas Haedar.
Muhammadiyah yakin bahwa bangsa dan negara Indonesia saat ini memiliki potensi untuk menyelesaikan masalah-masalah besar dan melaju ke depan lebih unggul, asalkan seluruh kekuatan bangsa berkontribusi secara nyata dan berkualitas tanpa merasa paling cinta dan bela Indonesia. “Optimisme ini terbangun karena bangsa Indonesia memiliki modal sejarah yang penting untuk menjadi negara yang berkemajuan. Indonesia harus dijadikan negara yang benar-benar merdeka, bersatu, adil, dan makmur sesuai cita-cita nasional yang dirumuskan 73 tahun lalu,” ujarnya.
Haedar Nashir mengingatkan, Indonesia tidak seharusnya terbuai oleh slogan-slogan cinta tanah air yang hanya bersifat retorika, tanpa perbuatan nyata yang benar-benar memajukan kehidupan bangsa. “Muhammadiyah, sepanjang sejarahnya, selalu bersama Indonesia. Bukan sekadar klaim cinta bangsa, tetapi melalui usaha-usaha nyata untuk kemajuan Indonesia. Karena itu, tidak perlu ada yang mengklaim diri paling Indonesia atau paling cinta NKRI,” tegasnya.
Menurut Haedar, keindonesiaan harus dibuktikan melalui tindakan nyata yang benar-benar memajukan bangsa dan negara, baik secara lahiriah maupun batiniah. Bahkan, ketika Indonesia berjalan ke arah yang salah dan kemudian diluruskan oleh komponen bangsa, usaha meluruskan tersebut adalah bagian dari cinta terhadap Indonesia dan keindonesiaan. “Cinta bukan hanya memanjakan yang dicintai sampai menjadi keropos, tetapi juga mengasihi, membina, dan memberdayakan, serta mengingatkan ketika yang dicintai berada dalam jalan yang tidak semestinya, dengan rasa cinta dan bukan dengan amarah atau kebencian,” tukas Haedar Nashir.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha