Khazanah Islam

Pandangan Muhammadiyah tentang Hadis: Konsep, Kehujjahan, dan Akar Pemikiran (4)

Pandangan Muhammadiyah tentang Hadis: Konsep, Kehujjahan, dan Akar Pemikiran (4)

Oleh : Dr. Kasman Abdul Rohim, M.Fil.I. (Wakil Ketua PDM Jember, Dosen FUAH IAIN Jember)

2. Al-sunnah al-Mutawatirah sebagai Landasan Aqidah
Kalangan Ushûliyin

Penolakan terhadap penggunaan hadis ähad dalam persoalan akidah bukan hanya berasal dari ahli kalam. Di kalangan ahli ushül dari empat mazhab Sunni juga banyak ditemukan pendapat seperti itu, baik secara eksplisit maupun implisit. Sebagian dari mereka ada yang secara jelas menyatakan ketidakhujjahan hadis ahåd dalam persoalan akidah, sementara sebagian yang lain hanya berindikasi cenderung berpendapat seperti itu karena menyatakan ketidakfaedahan hadis ahad dalam memberikan ilmu. Hal terakhir ini begitu banyak dapat ditemukan di dalam karya-karya mereka yang tidak mungkin dapat dimuat di sini, sehingga pembahasan berikut ini hanya menyinggung terhadap mereka yang secara jelas menolak kehujjahan hadis ahad dalam persoalan akidah.

Di antara ulama ushûl yang secara jelas menyatakan ketidakhujjahan hadis âhâd dalam persoalan akidah kebanyakan berasal dari kalangan Hanafiyah. Di antara mereka adalah ‘Ala’ al-Dîn al-Samarqandi (w. 539 H), Abū al-Thana’ Mahmûd al-Mâturîdî (hidup pada peralihan abad ke-4 dan ke-5 H), Muhammad al-Asmandî (w. 552 H), Fakhr al-Islâm al-Bazdawî (400-482 H), Abû Mahmûd al- ‘Aynî (762-855 H) dan Al-Mullâ ‘Alî al-Qârî. Secara umum mereka menyatakan bahwa hadis âhâd hanya mewajibkan keyakinan akal dan dugaan kuat, bukan keyakinan yang pasti. Karena itu hadis âhâd hanya mewajibkan amal perbuatan dan tidak dapat dijadikan hujjah terhadap persoalan-persoalan akidah (i’tiqûd), karena persoalan ini harus dibangun di atas ilmu (keyakinan) yang pasti.

Banyaknya kalangan Hanafiyah yang berpendapat seperti itu tampaknya dapat dimaklumi, karena aliran ini sering dimasukkan ke kalangan ahl al-ra’y.

Di antara ulama kalangan Syafi’îyah yang menolak hadits ähûd sebagai dalil bagi aqidah adalah Shafi al-Din Muhammad al-Armawi (644-715 H), Jamål al-Din ‘Abd al- Rahim al-Asnawi (w. 772 H) dan Abů Ishaq Ibrahîm al. Shirazî (393-476 H). Sedang di kalangan Målikîyah adalah Abū al-‘Abbas Ahmad al-Qurthubi (w. 578-656 H) dan Abú *al-‘Abbas al-Qarafi (w. 682 H). Argumentasinya pada pokoknya sama seperti di atas, yakni tingkat otentitas hadits ahnd hanya pada tataran dhann sehingga tidak mungkin dapat dijadikan fondasi pada persoalan yang qath’î seperti masalah akidah.

Kalangan Pembaharu Modern

Kemunculan gerakan pembaharuan dalam Islam modern dilatarbelakangi oleh situasi yang paradoks antara dunia Islam yang terbelakang dengan dunia Barat yang demikian maju. Para pembaharu melihat bahwa kemajuan yang berkembang di Barat merupakan sesuatu realitas yang tidak dapat dipungkiri, sebagai capaian dari perkembangan kemajuan akal manusia. Tetapi, sebagai seorang muslim, para pembaharu juga percaya bahwa

Islam adalah agama yang benar, yang shålih li kull al-zamân wa al-makan. Dalam hal ini, keterbelakangan dunia Islam dilihatnya bukan karena agama Islam, tetapi karena pemahaman agama yang dipegang oleh umat Islam bersifat kolot, dogmatis dan menyimpang dari ajaran Islam yang murni. Karena itu, para pembaharu tidak hanya memerangi sikap taqlid dan menyatakan keterbukaan pintu ijtihad, tetapi juga melakukan penerjemahan ajaran-ajaran Islam secara rasional sehingga mampu membangun dan bersaing dengan peradaban modern.

Baca juga, Pandangan Muhammadiyah tentang Hadits: Konsep, Kehujjahan, dan Akar Pemikiran (3)

Rasionalisasi ajaran Islam tidak terelakkan akan merambah pada persinggungannya dengan salah satu sumber ajaran Islam, yakni hadis. Tampaknya, para pembaharu melihat bahwa sebagian dari pemahaman kolot dan dogmatis yang dipegangi umat Islam pada zaman itu mendapat dukungan dari sejumlah hadis. Di sinilah timbul rasa skeptis di kalangan pembaharu terhadap kebenaran hadis, apalagi hadis tersebut tidak mutawatir. Rasa skeptis ini pada tataran berikutnya berdampak kekurangperhatian mereka terhadap hadis, dan lebih menekankan pada perujukan terhadap al-Qur’an, sehingga sebagian pembaharu terkesan munkir al-sunnah.

Pembaharuan Islam masa modern digerakkan oleh Jamâl al-Din al-Afghânî, Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rasyîd Ridlá. Tiga pembaharu ini disinyalir kurang memperhatikan sunnah, sehingga terkesan munkir al-sunnah. Al-Afghânî dikatakan oleh salah seorang muridnya ‘Abd al-Qadir al-Maghribî, sebagaimana yang dikutip oleh Shafiq Shaqîr, pernah menyatakan:

“Hanya Al-Qur’an yang menjadi sebab petunjuk dan yang dapat dijadikan pegangan dalam berdakwah. Adapun pemikiran, hasil ijtihad dan pandangan- pandangan yang menumpuk di sekitar al-Qur’an hendaknya tidak dipercaya seperti wahyu. Kita memperlakukannya seperti pendapat dan tidak membawa-bawanya bersama Al-Qur’an dalam berdakwah dan memberikan pelajaran kepada umat karena hal itu hanya akan menyulitkan dan membuang-buang waktu dalam pendapat-pendapat itu”

Shaykh Muhammad Abduh sebagaimana dituturkan oleh Mahmûd Abů Rayyah, pernah mengatakan: “Sesungguhnya umat Islam pada masa sekarang ini tidak memiliki imam selain al-Qur’an, dan Islam yang benar adalah Islam sebagaimana pada masa awal sebelum terjadinya fitnah.” Selanjutnya, beliau dikatakannya pernah menyatakan: “Umat Islam tidak mungkin bangkit selama kitab-kitab di Al-Azhar ini tetap diajarkan, dan tidak mungkin maju kecuali dengan ruh yang menjiwai umat Islam abad pertama, yakni Al-Qur’an. Hal-hal selain Al-Qur’an akan menjadi hijab yang menghalangi antara amal dan ilmu. Nashrun Minallahi Wa fathun Qarieb.

Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE