Jalan Baru Koreksi Jalan Lama Moderasi Beragama
Oleh : Rudi Pramono, S.E.*
PWMJATENG.COM – Istilah ‘Jalan Baru Moderasi Beragama’ berarti ada ‘Jalan Lama Moderasi Beragama’ mengacu pada tulisan Haedar Nashir. Pada kajian moderasi beragama perspektif Muhammadiyah, September 2020 lalu, beliau mengkritik moderasi beragama yang digaungkan pemerintah, lebih ditujukan ke arah ‘Radikalisme Agama’. Khilafah dikejar-kejar, radikal selalu diarahkan ke ‘Islam’ tapi tidak ke umat agama lain, komunisme dan liberalisme. Ada ketidakseimbangan dan ketidakadilan, padahal dua pendulum pemikiran itulah yang saling bersitegang mengancam peradaban.
Jalan Lama Moderasi Beragama itu semakin runyam ketika upaya itu dinilai sebagai bagian dari agenda Barat yang ingin ‘melemahkan agama (Islam)’ alih-alih program itu akan memoderatkan gerakan Islam malah justru semakin membara.
Oleh karena itulah diperlukan Jalan Baru Moderasi Beragama yang kemudian digagas oleh Haedar Nashir. Meski (paradigma tersebut lahir) secara personal, tetapi karena beliau juga seorang Ketum Muhammadiyah maka dalam pandangan umum menjadi representasi pikiran Muhammadiyah. Apalagi memiliki sandaran teologis QS. Al Baqarah : 143 dan juga mengacu pada Risalah Islam Berkemajuan poin 4, “Mengembangkan dan Menyebarluaskan Wasathiyah Islam”.
Baca juga, Hukum Membaca Qunut pada Salat Witir
Jalan baru ini tampaknya sebagai koreksi kepada kebijakan pemerintah yang dipandang tidak mengambil posisi yang adil/di tengah-tengah antara konservatisme/radikalisme dengan liberalisme/sekularisme yang keduanya bukanlah contoh baik moderasi beragama.
Persoalan moderasi beragama pada intinya pada persoalan kerukunan antar umat beragama (toleransi) yang bagi umat Islam Indonesia sebetulnya sudah khatam. Namun menjadi masalah di era global ketika muncul gerakan Islam transnasional berhadapan dengan pemikiran barat liberal sekuler dengan hegemoni sumber dayanya mempengaruhi negara-negara muslim. Selain itu juga dipicu faktor ketidakadilan politik, kesenjangan ekonomi, ketimpangan relasi sosial dan penetrasi kebudayaan global.
Namun ada satu hal yang perlu dicermati dari moderasi beragama yang sekarang ini digaungkan, yaitu dialog dan sikap inklusif. Dialog terutama ditujukan untuk membangun persepsi yang sama tentang relasi antar umat beragama dan kerja sama lintas Iman dalam membangun masyarakat sedangkan sikap inklusif (terbuka) tidaklah ke arah menafikan atau merelatifkan nilai-nilai keyakinan/aqidah yang fundamental dalam setiap agama, ini yang prinsip dalam Islam.
*Ketua MPI PDM Wonosobo.
Editor : M Taufiq Ulinuha