Oleh: Khafid Sirotudin*
PWMJATENG.COM – Seiring berakhirnya Musda (Musyawarah Daerah) Muhammadiyah “etape terakhir” dari 35 PDM kabupaten/kota se Jateng pada awal Agustus 2023, kami banyak menerima pertanyaan dari berbagai PDM terpilih. Terkait penyusunan UPP (Unit Pembantu Pimpinan) berupa Majelis dan Lembaga, khususnya “numenklatur” baru LP-UMKM (Lembaga Pengembang Usaha Mikro Kecil dan Menengah) sebagaimana SOTK UPP PP Muhammadiyah hasil Muktamar 48 di Solo.
Beberapa pertanyaan tersebut, antara lain :
- Apakah LPUMKM wajib ada di PDM dan PCM ?
- Kalau sudah ada MEK (Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan, hasil Muktamar 47) masihkah perlu LP-UMKM ?
- Bisakah MEK-BP (Majelis Ekonomi Kewirausahaan, Bisnis Pariwisata : hasil Muktamar 48) digabung dengan LP-UMKM ?
- Lebih utama mana PDM membentuk LP-UMKM dibanding MEK/MEK-BP ?
Kata Data
Berdasarkan laporan UNCTAD dalam Asean Investment Report yang dirilis pada Oktober 2022, jumlah pelaku UMKM di Indonesia tercatat 65,46 juta. Mampu menyerap 97 % tenaga kerja dan memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebanyak 60,3 %.
Data tersebut tidak berbeda jauh jika kita bandingkan dengan apa yang dirilis katadata.co.id pada tahun 2019 sebelum pandemi Covid-19 melanda. Di mana jumlah UMKM di Indonesia mencapai 65,5 juta, serta memberikan kontribusi terhadap PDB sebesar 61,07% atau senilai Rp 8.573,89 Triliun.
UMKM merupakan Pahlawan Nasional Ekonomi Indonesia yang telah membuktikan diri mampu bangkit lebih awal, bergerak lebih cepat dan relatif lebih mandiri atas setiap digit pertumbuhan maupun keterpurukan ekonomi nasional akibat krisis moneter, resesi ekonomi hingga pandemi Covid-19. Jawa Tengah (1,45 juta), Jawa Barat (1,49 juta) dan Jawa Timur (1,15 juta) adalah 3 provinsi yang memiliki jumlah UMKM terbanyak. Maka tidak mengherankan apabila ketiga provinsi ini memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi pasca pandemi. Bahkan melebihi tingkat pertumbuhan rata-rata ekonomi nasional.
Dari 1,45 juta unit UMKM di Jawa Tengah, Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Jateng baru mampu “mengcover” 4-l hingga 5 persen. Sebanyak 95 persen sisanya membutuhkan peran serta stakeholders lain untuk ikut mendampingi, membina, menguatkan dan mengembangkan. Maka keberadaan LPUMKM PWM dan PDM se-Jawa Tengah menjadi sebuah panggilan jihad kebangsaan berupa Gerakan Ekonomi yang harus dilakukan. Melengkapi Gerakan Pendidikan, Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial yang telah lama dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan oleh Muhammadiyah.
Baca juga, Jelang Tahun Politik, Ini Pandangan Ketua PWM Jawa Tengah KH. Tafsir
Muhammadiyah Jawa Tengah telah terbukti bisa melahirkan ribuan monumen amal saleh berupa AUM Pendidikan (TK, SD/SLB hingga 26 PTM), AUM Kesehatan (50 RSMA dan 40-an Poliklinik Pratama) serta AUM Sosial (200-an PAY dan Panti Lansia).
Belum ada data mutakhir dan sahih mengenai jumlah pelaku UMKM Muhammadiyah di Jawa Tengah. Berdasarkan “aji pangira-ngira” (estimasi) kami, terdapat 140.000-an warga Muhammadiyah/Aisyiyah menjadi pelaku UMKM berbagai bidang. Setara 10 persen dari total pelaku UMKM di Jateng.
Berdasarkan fakta lapangan, data faktual bisa digali dari beberapa indikator kuantitatif, antara lain : jamaah umrah dan haji via KBIH-MA, laporan LazisMu tentang jumlah agregatif Muzakki, Munfiq dan Muwakif, pemasok logistik RSMA, jumlah kantin di PTM/ Sekolah/RSMA, jumlah nasabah BTM/BPRS-ASB, anggota Koperasi Karyawan AUM, pedagang pasar rakyat/tradisional, bakul jajanan dan mainan pada berbagai kegiatan Hari Bermuhammadiyah, Pengajian Ahad Pagi dan Pengajian Umum, dan sebagainya.
Sinergi Gerakan Ekonomi
Menjawab berbagai pertanyaan dari PDM terkait urgensi pembentukan LPUMKM, maka kami menyerahkan sepenuhnya ke masing-masing PDM. Boleh dibentuk terpisah maupun digabung dengan MEK-BP. Namun untuk PCM sebaiknya cukup LPUMKM saja. Bukankah fakta menunjukkan jumlah pelaku bisnis di kalangan Muhammadiyah Jawa Tengah 99,5 % merupakan UMKM di berbagai bidang serta sektor ekonomi formal dan non formal.
Setidaknya ada beberapa pertimbangan sebelum PDM membentuk UPP LPUMKM maupun MEK-BP, di antaranya :
- SDI/SDM
Ketersediaan sumberdaya insani (SDI) atau sumberdaya manusia (SDM) setiap PDM beragam secara kuantitatif maupun kualitatif. Ada PDM yang memiliki banyak SDM tetapi sedikit yang menggeluti sebagai pedagang/bakul/pebisnis. Ada PDM yang sebagian besar pimpinannya berprofesi sebagai guru/akademisi, pegawai negeri/ASN dan karyawan swasta.
Tetapi ada juga PDM terpilih hasil Musda, separuh menjadi pedagang/wiraswasta dan separuh lainnya sebagai pengelola AUM dan ASN. Memaksakan membentuk UPP dan diamanatkan kepada orang yang kurang memiliki “sense of behaviour” tentu bukan langkah yang biajksana. - Local Genius
Local genius atau kearifan lokal musti menjadi pertimbangan PDM dalam membentuk MEK-BP atau LPUMKM. Pernah suatu ketika saya berbincang dengan salah seorang PDM terpilih di suatu kabupaten/kota. “La yo mas mencari mubaligh dan khatib sholat Jumat saja kita masih kekurangan, apa ya pantas jika MEK-BP diisi pegawai LazisMu dan Guru Muhammadiyah yang tidak pandai berdagang ?” tutur dia setengah bertanya. - Kader Praktisi Ekonomi
Jika di suatu PDM tersedia 10-15 Kader Penggerak Ekonomi di setiap PCM, yaitu praktisi bisnis yang telah teruji 1-2 dasawarsa, maka keberadaan LPUMKM atau MEK-BP menjadi sebuah kebutuhan. Jiwa kewirausahaan (sense of enterpreneurship) tidak dapat diciptakan dalam waktu singkat atau instan hanya dengan mengikuti 1-2 kali pelatihan langsung mahir berdagang dan berbisnis.
Harapan “brand persyarikatan” menjadi semakin besar dan terpercaya (al-amiin), bisa saja berubah menjadi laku ekonomi yang menggadaikan/menjual “brand persyarikatan” dengan harga murah, menjadi “amal salah” dan salah urus. Eman-eman jika pengelola unit bisnis di lingkungan persyarikatan tidak diisi oleh pribadi yang jujur dan adil (Sidiq), dapat dipercaya dan bertanggungjawab (Amanah), mampu mengembangkan usaha (Tabligh), serta memiliki ilmu ketrampilan profesional (Fatonah).
Harus dihindari perilaku bisnis yang tidak jujur dan tidak adil (zalim), melanggar “maghrib” (maisir, gharar, ribawi) dan berjiwa “kapitalisme syariah”. Pelaku bisnis Muhammadiyah harus bisa “tahu diri” dan mampu “menempatkan diri” terhadap posisi BUMM (Badan Usaha Milik Muhammadiyah), BUMWM (Badan Usaha Milik Warga Muhammadiyah) dan Badan Usaha milik Pribadi/Keluarga/Kelompok.
Praktek bisnis tidak sehat biasanya dimulai dari mal kebijakan, berlanjut pada mal-administrasi, mal-tata kelola. Kemudian kepentingan bisnis pribadi/keluarga/kelompok dipaksa-himpitkan dengan posisi/jabatan pada Struktur Pimpinan dan AUM, serta tidak terpenuhinya syarat dan ketentuan norma “good governance” sebagai lembaga ekonomi di lingkungan persyarikatan.
Cukuplah kegagalan Bank Persyarikatan di masa lalu sebagai kasus pertama dan terakhir. Dan cukuplah angka NPL (Non Performance Loan) pada BTM (Baitut Tamwil Muhammadiyah) dan BTMWM (Baitut Tamwil Milik Warga Muhammadiyah) yang terjadi di Jawa Tengah menjadi catatan penting (red notice) lembaga keuangan yang berlabel Muhammadiyah.
- Sinergi UPP dan MLO
Gerakan Jamaah dan Dakwah Jamaah (GJDJ) musti dipraktekkan secara nyata pada program kegiatan Gerakan Ekonomi Muhammadiyah oleh MEK-BP dan LPUMKM, maupun lintas Majelis, Lembaga dan Ortom (MLO). Jangan sampai terjadi seorang pimpinan, pengelola AUM dan kaum profesional lain yang mencari nafkahnya dari berbagai Amal Usaha Muhammadiyah tetapi dalam menunaikan zakat, infaq, sedekah dan wakafnya justru tidak melalui LazisMu dan Majlis Wakaf Muhammadiyah.
Contoh lain, komitmen untuk membeli barang dan parcel lebaran dari para pengelola AUM se Jawa Tengah dari gerai/toko/retail/warung jejaring LPUMKM PWM Jateng. Juga komitmen para Direktur RSMA untuk berbelanja semua kebutuhan logistik hanya dari jaringan LP-UMKM, Koperasi Karyawan RSMA, MEK Aisyiyah, JATAM (Jaringan Tani Muhammadiyah) dan PUPUKMu (Perhimpunan Pelaku Usaha Kecil dan Menengah Muhammadiyah) Jateng.
Integritas dan komitmen untuk bersinergi secara ekonomi menjadi salah satu poin penting Pakta Integritas yang wajib ditandatangani dan harus dilaksanakan oleh Direktur RSMA dan Kepala AUM lain sebelum dikukuhkan/dilantik.
Banyak pihak saat ini melihat Muhammadiyah sebagai pasar besar, sasaran “market share” bisnis. Mereka melihat begitu banyaknya pengurus/warga/simpatisan/volunteer dan ratusan AUM bidang kesehatan/pendidikan yang berkembang besar. Tetapi mereka tidak tahu atau lupa bahwa Muhammadiyah bisa bertahan dan berkembang hingga sekarang bukan karena banyaknya konglomerat atau pebisnis usaha besar yang menjadi pengurus. Tetapi lebih karena diisi oleh sebagian besar “civil society” yang mandiri, kader/warga yang amanah, pelaku UMKM yang hidupnya sederhana, merasa cukup namun megah dan kaya amal kesalihan sosial.
Baca juga, Hadiri Pengukuhan PWM dan PWA Jateng, Ganjar Pranowo Apresiasi Sinergitas Muhammadiyah dengan Pemerintah
Himpunan daging kurban sebanyak 25 ton di salah satu dukuh desa Batur Banjarnegara pada Idul Adha lalu, merupakan wujud hadirnya “mental memberi” dari warga Muhammadiyah yang sebagian besar petani dan buruh tani. Mental Kaya : “tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”, serta memiliki jiwa kewirausahaan sosial (social-enterpreneurship) tinggi seperti inilah pada hakekatnya yang hendak diwujudkan dalam Gerakan Ekonomi Muhammadiyah, khususnya LP-UMKM.
Sebagai kader dan warga Muhammadiyah yang baik, tentu kita harus muhasabah : “mulat, eling kelawan waspada”. Jangan sampai virus “Wahn” memapar pelaku gerakan ekonomi di lingkungan persyarikatan. Jika virus Covid-19 dari Wuhan telah terbukti memiliki daya rusak ekonomi yang luar biasa bagi sebagian besar bangsa di dunia, maka virus Wahn akan memiliki daya rusak ekonomi yang lebih dahsyat bagi warga Muhammadiyah.
Waspada itu Indah. Wallahua’lam
*Ketua LP-UMKM PWM Jawa Tengah
Editor : M Taufiq Ulinuha