Pemilihan yang Menggembirakan
Oleh : Khafid Sirotudin*
PWMJATENG.COM – Musyawarah Pimpinan Wilayah (Musypimwil) Muhammadiyah digelar di Pendopo kabupaten Tegal, Sabtu 28 Januari 2023. Satu kegiatan wajib pra Musywil (Musyawarah Wilayah) ke-12 Muhammadiyah Jawa Tengah, yang akan dilaksanakan pada 3-5 Maret di Kota Tegal. Muspimwil merupakan forum tertinggi di bawah Musywil untuk menentukan 39 Calon Tetap PWM periode 2022-2027. Sebuah tahapan penyaringan bakal calon PWM ala persyarikatan yang khas dan “ojo dibanding-bandingke” dengan proses pemilihan pengurus organisasi masyarakat lainnya.
Berikut kami sampaikan beberapa keunikan proses pemilihan pimpinan di lingkungan Muhammadiyah, selama 30 tahun kami menjadi anggota, terhitung sejak menerima kartu tanda anggota atau NBM (30/9/1992). Berikut beberapa keunikan permusyawaratan di Muhammadiyah :
Pertama, tidak ada pencalonan diri bagi para kandidat.
Hal ini terjadi disebabkan para calon pimpinan hanya bisa dicalonkan/diusulkan oleh Pimpinan Muhammadiyah setingkat di bawahnya (vertikal/bottom up) dan Pimpinan Ortom setingkat (horizontal).
Budaya musyawarah/pemilihan di forum Musywil hanya ada slogan “Pilihlah Kita”, bukan “Pilihlah Kami” atau “Pilihlah Saya” apalagi disertai syahwat menjabat posisi tertentu jika nantinya terpilih 13 besar. Sebab forum musyawarah Muhammadiyah tidak mengenal pemilihan Ketua secara terpisah atau janji berbagi jabatan sebagaimana pemilihan Presiden.
Kedua, tidak ada tim sukses dan lembaga survey yang terlibat dalam menyukseskan kandidat.
Setiap peserta yang berangkat ke forum permusyawaratan merupakan mandatoris umat, surveyor sekaligus anggota “Tim Sukses Muhammadiyah” di setiap tingkatan.
Jika dirasa oleh peserta musyawarah belum mengenal (ta’aruf & tafahum) beberapa nama bakal calon Pimpinan Persyarikatan yang akan diusulkan atau dipilih, biasanya PDM/PCM mengundang yang bersangkutan untuk hadir mengisi pengajian, diskusi, dialog, seminar, pelatihan dan beragam aktivitas kegiatan Muhammadiyah setempat. Apabila ada bakal calon yang berkeliling daerah/cabang menjelang Muswil/Musda untuk mengenalkan diri atau meminta dicalonkan maka langkah tersebut justru “ahistoris” dan kontra produktif.
Jangan bersyahwat dapat masuk 39 apalagi 13 besar calon pimpinan jika cara berkontestasi di lingkungan Muhammadiyah menggunakan pendekatan politik praktis ala Pilkada atau Pileg. Sebab norma dan budaya kepemimpinan Muhammadiyah menjadikan semua posisi dan jabatan hanya sebagai bentuk pengabdian yang berpahala setara. Setiap calon pimpinan persyarikatan dipaksa untuk meluruskan niat menjaga hati (qalbun-fuad-lub). Serta menjadikan jabatan sebagai amanah dan wasilah untuk mendapatkan rahmat dari Allah Swt yang bermanfaat di dunia dan akhirat.
Setiap pimpinan (bukan kepala/penguasa) persyarikatan diminta bekerja secara ikhlas-cerdas-tegas dengan penuh kesadaran adanya pengawasan melekat malaikat (waskat). Serta meyakini akan dimintai pertanggungjawaban secara pribadi di Yaumil Hisab kelak.
Maka menjadi pemandangan lumrah di Muhammadiyah manakala ada seorang calon terpilih dengan suara terbesar 13 (tim formatur) dalam Muktamar/Musywil/Musyda/Musycab justru “rebutan menolak” menjadi Ketua. Setiap pimpinan Muhammadiyah terpilih “biso rumongso” (tahu diri dan bisa menempatkan diri) secara baik menurut syariah, kaidah fiqyah, norma dan etika/akhlak rohanisasi, yang pondasinya telah seabad lebih dibangun, dicontohkan dan dipraktekkan para pendiri.
Ketiga, peserta adalah pemilih yang berdaulat sebagai pengemban amanat umat/warga persyarikatan.
Para peserta Musywil/Musyda berangkat secara berdikari : tiket, moda transportasi, BBM, e-toll, uang saku, sarapan dan uang jajan, pulsa/paket data. Dikeluarkan dengan penuh perhitungan dari saku pribadi sebagai sedekah jariyah. Kalau ada yang dibiayai organisasi hanyalah uang jasa sopir dan pinjaman mobil inventaris milik persyarikatan.
Semangat berbagi, memberi dan sedekah di kalangan Muhammadiyah sudah menjadi watak/karakter akhlakul karimah, pengejawantahan ruhul Islam, ruhul jihad dan ruhul ikhlas. Segala yang dimandatkan kepada peserta Muspimwil/Muswil pasti sudah melalui musyawarah berjenjang hasil “saring dan sharing” pimpinan di setiap tingkatan.
Indikator pemilih yang mandiri setidaknya tercermin pada 39 nama calon pimpinan terpilih hasil Musypimwil kemarin. Di mana terdapat beberapa nama calon terpilih yang tidak memiliki hak pilih sebagai utusan/peserta (peninjau/penggembira) bahkan ada yang tidak hadir secara nyata, yakni Prof. Dr. H. Zakiyudin Baedhowi yang menempati urutan ke 14.
Keempat, elegan dan berkeadaban.
Belum pernah saya menjumpai forum permusyawaratan Muhammadiyah di semua jenjang ada kejadian saling melempar kursi di antara peserta, money politic atau black campaign sesama calon. Meski semua peserta musyawarah berisi manusia yang kadangkala lupa dan khilaf (bukan malaikat) tetapi budaya Islami nan berkeadaban telah menjadi peradaban unggul dalam proses memilih pimpinan melintasi zaman.
Kami yakin sebelum memilih 39 atau 13 nama, setiap peserta minimal membaca ta’awudz dan basmalah. Sebagian peserta lainnya kami yakini memanjatkan doa dan munajat khusus dalam sholat sunah sebelum berangkat musyawarah.
Di setiap perhelatan Muswil/Muspimwil kita menyaksikan peserta dan kandidat yang ajar-ajur-ajer. Tanpa ragu seorang Profesor Doktor bersepatu bisa “guyon maton” dengan peserta lulusan SMA yang bersandal. Tanpa “sungkan” (berjarak sosial) peserta yang seorang pejabat bercengkrama dengan peserta seorang pedagang pasar rakyat. Sesama calon kandidat pimpinan bisa saling guyon, humor dan “gasak-gasakan mesra” sambil tertawa tanpa curiga.
Kelima, pemilihan menggunakan e-vote yang efisien.
Peserta bisa beradaptasi menggunakan teknologi dan teknik pemilihan secara cepat, tepat dan merdeka saat memilih 39 nama dari 58 nama bakal calon yang tersajikan secara virtual di bilik suara. Setiap calon ditampilkan foto, nomor dan nama lengkap sesuai urutan abjad. Bagi yang namanya berawalan huruf A tampil di nomor urut awal dan seterusnya sampai Z pada nomor urutan akhir.
Sependek pengetahuan saya platform e-vote pertama dibuat oleh siswa SMK (d/l SMEA) Muhammadiyah 1 Weleri Kendal pada tahun 2015. Kemudian diujicobakan, digunakan dan disempurnakan untuk berbagai pemilihan di internal Muhammadiyah : Musycab/Musyda IPM, Musycab/Musyda Muhammadiyah, Muktamar IPM di UMP dan Muhammadiyah ke-48 di Solo. Tentu saja plalform e-vote terus diperbaharui dengan beragam asupan penyempurnaan dari bebeberapa ahli IT PTM dan programmer handal yang dimiliki persyarikatan.
Keenam, memilih tidak berdasarkan suku, ras dan kedaerahan.
Para pimpinan dan warga persyarikatan selama seabad lebih telah terbukti dan teruji memiliki kemampuan adaptasi tinggi dengan budaya lokal (local genius) dan perubahan jaman yang dinamis. Jika pimpinan Muhammadiyah tidak memiliki adversity quotient (AQ) yang memadai tentu berbagai AUM sosial, kesehatan, pendidikan, ekonomi, dll. tidak akan pernah bisa dibangun dan berkembang besar di suatu wilayah/daerah hingga sekarang.
Dalam proses pemilihan pimpinan di Muhammadiyah seseorang diusulkan menjadi calon dan dipilih menjadi pimpinan bukan karena dikenal (popularitas) dan berasal dari cabang/daerah/wilayah yang sama dengan PCM/PDM/PWM pengusul. Namun lebih karena integritas, kapabilitas dan akseptabilitas seseorang berdasarkan rekam jejak kekaderan dan beragam aktivitas penugasan yang pernah diamanatkan persyarikatan kepadanya.
Ketujuh, nihil dan minimnya calon perempuan.
Jika pada Muktamar ke-48 di Solo terdapat 6 usulan calon perempuan dari PP Ortom dan PWM, maka pada Muswil ke-12 Muhammadiyah Jateng yang akan datang ternyata nihil usulan calon perempuan. Kami termasuk yang sedikit kecewa dengan kondisi ini.
Pada kesempatan bertemu Dr. Hj. Ummu Baroroh, M.Ag. (Ketua PW ‘Aisyiyah Jateng) saat rehat di ruang tunggu kantor Setda Kabupaten Tegal, saya sempat menanyakan hal itu. Beliau menjelaskan mengapa PWA Jateng tidak mengadakan Musypimwil sebagaimana PWM Jateng. Karena jumlah usulan kandidat PWA Jateng pada Musywil Aisyiyah saja masih minimalis. Dari 38 usulan bakal calon, hanya 36 yang lolos kualifikasi administratif oleh Panlih. Sebuah keadaan yang tidak memungkinkan untuk mengusulkan calon perempuan sebagai PWM Jateng.
Sekarang saya menjadi mengerti mengapa sulit mencari kader/warga persyarikatan perempuan untuk mau berkiprah di berbagai lapangan kebangsaan, termasuk mengikuti kontestasi sebagai penyelenggara pemilu 2024. Jangankan berkompetisi di luar gelanggang organisasi sendiri, untuk sekedar dicalonkan menjadi pimpinan Aisyiyah saja kurang bernyali.
Last but not least, sebagai UPP PWM yang diamanati menggawangi LHKP, kami berterimakasih kepada PW Aisyiyah khususnya IGABA (Ikatan Guru TK ABA) yang saat ini telah menjadi bagian dari 2.000-an kader/warga persyarikatan sebagai penyelenggara pemilu 2024 di berbagai tingkatan : Kabupaten/Kota, Kecamatan dan Desa/Kelurahan se Jawa Tengah. Wallahua’lam.
Editor : M Taufiq Ulinuha
*Ketua LHKP PWM Jawa Tengah