Spirit Hijrah dan Kemerdekaan
Oleh: Haedar Nashir (Ketua Umum PP Muhammadiyah)
HIJRAH dalam Islam berpindah dari kondisi yang serba mengekang menuju keadaan yang lebih leluasa untuk mengemban misi risalah Islam menuju kehidupan baru yang tercerahkan dan dirahmati Allah dalam kehidupan umat manusia. Nabi dan kaum muslimin berpindah dari Makkah yang penuh ancaman ke daerah baru di Yasrib yang lebih bebas untuk menyebarluaskan dan menjalankan ajaran Islam untuk kebahagiaan hidup sejati manusia di dunia dan akhirat. Allah menggambarkan dalam Al-Quran tentang hijrah: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Baqarah: 218).
Ketika umat Islam Indonesia memperingati 1 Muharram 1442 sebagai awal tahun hijriyah, dua hari lalu baru saja bangsa Indonesia merayakan 75 tahun kemerdekaannya. Dalam kaitan ini, kemerdekaan juga memiliki kesamaan dengan hijrah, yakni membebaskan diri dari belenggu penjajah yang menindas kepada perikehidupan baru yang leluasa menjalankan hak hidup sebagai bangsa merdeka. Apalagi para pendiri Republik ini mendeklarasikan kemerdekaan “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”.
Hijrah dan kemerdekaan memiliki spirit yang sama untuk hidup baru yang bebas dan bermakna dalam rahmat dan berkah Allah. Karena itu mari kita manfaatkan momentum kemerdekaan dan kehadiran awal tahun hjjriyah sebagai jalan meraih kehidupan yang lebih baik dalam ridha dan rahmat Allah SWT. Jadikan hidup muslim, termasuk kaum muda dan milenial, menjadi yang terbaik dengan meninggalkan segala yang salah dan buruk ke kondisi yang benar dan baik sehingga menjadi insan baru yang tercerahkan. Dalam salah satu hadis, dari Abdullah bin Amru Nabi Muhammad bersabda, yang artinya “Seorang Muslim adalah orang yang selamat dari lisan dan tangannya, dan seorang muhajir adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” (HR Bukhari & Muslim).
Bagi muslim, lebih khusus kaum muda dan generasi milenial yang menjadi harapan umat dan bangsa berhijrahlah. Yakni hidup menjadi lebih benar, lebih baik, dan lebih pantas di berbagai hal seraya meninggalkan apa yang salah, buruk, dan tidak patut yang selama ini mungkin telah atau sering dilakukan. Jadikan momentum hijrah dan kemerdekaan sebagai jalan perubahan diri untuk menjadi hidup lebih baik dan maju. Dimulai dari perubahan individual yang sederhana dan sehari-hari hingga urusan kolektif berbangsa dan bernegara serta relasi kemanusiaan semesta yang rahmatan lil-‘alamin.
Secara personal setiap orang dapat mengubah kebiasaan hidup. Dari loyo jadi semangat. Dari malas dan rebahan jadi kerja keras. Dari manja jadi mandiri. Dari kurang wawasan jadi cerdas berilmu. Dari kurang peduli kepada orangtua menjadi cinta dan berbakti kepada keduanya. Dari sembarangan berperilaku menjadi bertanggungjawab. Dari egois jadi peduli sesama dan lingkungan. Dari perilaku sekehendaknya menjadi berakhlak mulia. Intinya pindah dari segala keadaan yang kurang baik ke situasi baik dan positif.
Hijrah dalam berislam jangan berhenti di urusan simbol seperti cara berpakaian semata, tetapi berubah cara hidup Islami yang luas. Berpakaian muslim-muslimah juga yang wajar saja sebagaimana tuntunan Rasul dan Siti Aisyah. Perempuan misalnya tidak perlu menutup muka dan telapak tangan sebagaimana hadis Nabi dari Aisyah. Pria ada tuntunannya, termasuk menutup paha itu sebagai aurat (HR. Tirmidz). Pakaian orang Indonesia juga Islami. Setiap bangsa berpakaian sesuai dengan kebiasaanya. Pakaian orang Arab untuk orang Arab. Orang lain bisa berpakaian dari suku atau bangsa lain sebagai urusan budaya, bukan patokan standar Islami dalam berpakaian. Tidak perlu yang berlebihan dan menutup diri dalam berpakaian agar sesama muslim dan sesama insan tetap bisa saling mengenal wajah satu sama lain.
Lita’arafu atau agar saling kenal mengenal sebagai dasar hubungan antar manusia sebagaimana perintah Allah (QS Al-Hujarat: 13). Moderat atau tengahan dalam berpakaian, makan dan minum, serta hidup sehari-hari termasuk hijrah dalam Islam. Bahkan, Nabi mengajarkan beragamapun hendaknya tengahan, jangan ghuluw atau berlebihan.
Hijrah harus ditarik ke aspek kehidupan yang lebih mendalam dan luas untuk menjadikan setiap muslim sebagai khalifah di muka bumi. Yakni mengurus kehidupan dan memakmurkan bumi untuk kebahagiaan hidup umat manusia. Menjadi muslim-muslimah dalam Islam harus cerah hatinya, maju dan berilmu luas alam pikirannya, baik hubungan dengan sesama manusia dan lingkungan, serta berkemajuan dalam segala amal dan pergaulan yang menampilkan Islam sebagai agama peradaban utama yang rahmatan lil-‘alamin. Dengan spirit hijrah setiap muslim sebagai individu maupun kolektif harus tampil menjadi uswah hasanah (teladan yang baik) untuk menjadi Khayra Ummah atau Umat Unggul dalam segala aspek kehidupan. Itulah sosok umat sebagai Ummatan Wasathan yang menjadi Syuhada ‘ala-Nas (QS Al-Baqarah: 143), yang menjadi umat moderat sebagai pelaku sejarah membangun peradaban utama.
Nabi dan kaum muslim hijrah dari Makkah ke Madinah untuk memulai kehidupan baru yang lebih merdeka dalam mengemban risalah Islam untuk rahmatan lil-‘alamin.
Dalam kurun waktu 13 tahun di Yasrib, terbangun tatanan al-Madinah al-Munawwarah, kota peradaban yang tercerahkan. Pasca Nabi Muhammad wafat, dari peradaban Madinah itu kemudian Islam menyebar ke seluruh dunia dan menciptakan era kejayaan selama lebih enam abad lamanya sebagai puncak kemajuan umat Islam yang mencerahkan semesta. Pada saat itu kebudayaan Barat masih tertinggal. Islam dan umat Islam menjadi pencerah peradaban global yang menebar rahmatan lil-‘alamin.
Kaum muda dan generasi milenial harus menjadi umat tengahan sebagai aktor perubahan dan kemajuan menuju tatanan yang utama. Yakni, pahami, dan amalkan Islam dengan benar dan baik secara mendalam dan luas untuk membangun kehidupan yang teladan dan terbaik. Islam yang rahmatan lil-‘alamin. Bagi kaum muda Indonesia, juga pahami dan praktikkan Pancasila dalam berbangsa bernegara secara moderat, tidak ekstrem atau berlebihan. Pun pahami kebudayaan luhur bangsa dengan baik. Jangan menjadi “the lost generations”, generasi yang hilang pemahaman dan ikatan akan nilai-nilai luhur kehidupan. Pandai dan berilmu itu harus. Menguasai IPTEK khususnya teknologi informasi itu niscaya. Terampil dan ahli dalam berbagai bidang itu penting. Tetapi juga harus berakhlak mulia, bersosial yang baik, dan berperan aktif dalam mengembangkan kehidupan bersama yang bermakna. Lebih dari itu menjadi insan beriman dan bertaqwa sehingga menjadi orang yang selalu dekat kepada Allah dalam seluruh denyut nadi kehidupannya. Hidup bahagia penuh rahmat dan berkah di dunia dan akhirat.
Jadi, dengan spirit hijrah mari jadikan hidup lebih baik dan menebar rahmat dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan kemanusiaan global yang dirahmati dan diridhai Allah. Hijrah bukan hanya dalam ranah perilaku sehari-hari, tetapi membangun peradaban Islam yang mencerahkan semesta. (sumber: muhammdiyah.or.id)