Kolom

Sumatera Berduka: Benarkah Ini Semua Hanya Salah Cuaca?

Oleh: Abdul Rasyid, S.E. (Lulusan Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan IPB University / Sekretaris PCM Banjarharjo Brebes)

PWMJATENG.COM, Beberapa hari terakhir, kabar duka datang bertubi-tubi dari Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh. Wilayah-wilayah ini diterjang banjir dan longsor parah. Dampaknya sangat memilukan: puluhan kabupaten lumpuh, akses jalan terputus total, ribuan warga mengungsi, dan hingga 3 Desember 2025 tercatat 770 jiwa meninggal dunia, sementara 463 orang masih dalam pencarian. Rumah hanyut, jembatan runtuh, layanan komunikasi mati. Semua ini menjadi potret betapa rapuhnya kita di hadapan alam yang murka. Namun pertanyaannya: apakah bencana sebesar ini murni karena cuaca ekstrem?

Al-Qur’an telah memberi peringatan jauh sebelum kita mengenal istilah climate change. Allah berfirman:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh ulah tangan manusia.” (QS. Ar-Rum: 41)

Ayat ini adalah tamparan keras. Kerusakan alam bukan terjadi secara kebetulan, melainkan akibat tangan manusia yang melampaui batas. Karena itu, kita tidak semestinya terkejut ketika musibah datang—sebab sering kali kitalah yang mengundangnya.

Mari jujur pada diri sendiri. Banyak kerusakan lingkungan berakar dari keserakahan: hutan digunduli, tanah dikuras tanpa jeda, dan izin-izin dikeluarkan tanpa mempertimbangkan amanah ekologis.

Allah telah memperingatkan:
“Dan kalian mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan.” (QS. Al-Fajr: 20)

Ketika cinta harta lebih besar daripada rasa takut kepada Allah, kerusakan lingkungan menjadi keniscayaan. Dan ironisnya, korban pertamanya adalah rakyat kecil: anak-anak, orang tua, serta keluarga yang kehilangan orang tercinta. Bencana ini adalah cermin dari kelalaian kita bersama.

Menurut data Greenomics, antara 2004–2017 jutaan hektare hutan Indonesia diubah menjadi kebun sawit melalui izin resmi. Total izin legal yang diterbitkan Kementerian Kehutanan sejak 2004–2024 mencapai 2,4 juta hektare—setara 36 kali luas Jakarta.

Lebih ironis lagi, temuan BPK pada 2024 menunjukkan ada 2,5 juta hektare kebun sawit yang beroperasi secara ilegal di dalam kawasan hutan. Jumlah ilegal ini bahkan lebih besar dari luas izin legal selama dua dekade.

Itu baru yang terdeteksi. Bagaimana dengan yang belum?

Sawit bukan musuh. Yang menjadi masalah adalah kerakusan manusia—membuka lahan tanpa memperhatikan daya dukung ekosistem.

Secara ekologis, hutan memiliki akar tunggang yang kuat dan dalam, mampu menahan air dalam jumlah besar. Sementara sawit memiliki akar serabut yang dangkal. Konversi hutan menjadi kebun sawit dalam skala raksasa menyebabkan banjir, kekeringan, dan hilangnya keanekaragaman hayati.

Namun kita juga tidak bisa menutup mata: sawit adalah komoditas penyumbang devisa terbesar Indonesia. Tantangannya bukan memilih antara ekonomi atau lingkungan, melainkan mengelola sawit secara berkelanjutan agar ekonomi tetap bergerak tanpa merusak fondasi ekologis.

Hutan adalah spons raksasa yang memegang air. Allah memperingatkan:

“Janganlah kalian membuat kerusakan di bumi setelah Allah memperbaikinya.” (QS. Al-A’raf: 56)

Ketika spons dirusak, banjir menjadi konsekuensi. Dan ketika manusia tidak menahan keserakahannya, alam akan memaksa kita belajar dengan caranya sendiri.

Banyak media menyebut banjir Sumatera sebagai akibat badai musiman. Namun Al-Qur’an memberi sudut pandang yang lebih dalam melalui QS. Az-Zukhruf: 11:

“Dan Dia yang menurunkan air dari langit menurut ukuran…”

Hujan diturunkan dengan presisi—tidak kurang dan tidak lebih. Ulama sepakat bahwa hujan adalah rahmat, bukan penghancur.

Prof. Quraish Shihab menjelaskan bahwa bi qadarin berarti “bertahap menurut aturan Allah”. Secara ilmiah, hujan turun sangat presisi: awan seberat jutaan ton turun perlahan dalam rintik-rintik yang ramah.

Jika hujan berubah menjadi bencana — dalam Al-Qur’an disebut al-mathar, sering dikaitkan dengan azab — maka persoalannya bukan pada hujannya, tetapi pada kecerobohan manusia.

Kitalah yang mengusik gameplay Tuhan hingga hujan rahmat berubah menjadi hujan malapetaka.

Pada akhirnya, bencana ini bukan untuk menyiksa, melainkan untuk menyadarkan.
Hujan turun dari langit.
Tapi:

  • gelondongan kayu itu tidak turun dari langit,
  • lumpur setinggi dada tidak muncul begitu saja,
  • dan sungai yang dangkal tidak terjadi tanpa sebab.

Illegal logging, deforestasi, dan pengabaian aturan lingkunganlah yang memperparah bencana. Tanpa pemulihan ekologis yang serius, bencana yang lebih besar hanya tinggal menunggu waktu.

Dan yang paling menyedihkan:
korbannya adalah semua orang — termasuk mereka yang tidak ikut merusak.

Lalu, butuh peringatan seperti apa lagi agar kita sadar?

Editor: Al-Afasy

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE