Kolom

Bencana yang Menyadarkan: Percakapan di Serambi Masjid Tentang Alam, Amanah, dan Masa Depan

rudyspramz, MPI

PWMJATENG.COM, Malam itu, selepas Isya, di serambi masjid tua yang masih basah oleh rintik hujan, seorang pemuda dan mbah kiai kembali bersua. Angin membawa dingin, tetapi percakapan keduanya justru menyalakan kehangatan di hati.

Seperti biasa, nasihat simbah kiai mengalir lembut namun menembus relung jiwa.
“Musibah yang datang hanyalah pengingat,” ucapnya pelan. “Bahwa sekuat apa pun manusia mengejar dunia, semuanya dapat lenyap sekejap bila Allah menghendaki.”

Sang pemuda mengangguk, meresapi tiap kata.

Mbah kiai kemudian bertutur tentang bagaimana tanah dan air setiap hari meminta izin kepada Allah untuk melenyapkan manusia, namun Allah menahan keduanya agar memberi kesempatan hamba-hamba-Nya bertaubat. Sampai pada suatu waktu Allah berfirman, ‘Geraklah wahai tanah dan air!’ maka terjadilah apa yang terjadi.

Pemuda itu tiba-tiba bersuara, suaranya bergetar menahan gundah.
“Betul, mbah kiai… tetapi bagaimana nasib masyarakat yang tak tahu-menahu? Para penebang liar, pembalak hutan, pejabat yang mengalihkan lahan semena-mena justru bersorak bebas dari salah. Yang menjadi korban adalah rakyat kecil—kehilangan keluarga, rumah, dan tanah air.”

Mbah kiai terdiam sejenak. “Memang begitu gambaran umat terdahulu. Bencana datang karena manusia ingkar,” ujarnya lirih.

Sang pemuda menimpali cepat, “Tapi Allah juga berfirman: ‘Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena ulah tangan manusia, supaya Allah membuat mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali.’

Ia menarik napas, lalu bertanya dengan nada lembut namun tegas,
“Siapa sebenarnya yang bersalah? Mereka yang membuat kebijakan tanpa akhlak, tanpa ilmu, sarat keserakahan? Atau rakyat yang hanya menerima akibat?”

Mbah kiai menghela napas panjang.
“Alam adalah karunia Allah untuk seluruh makhluk. Dan engkau benar, nak. Ketika kebijakan dibuat tanpa ilmu, tanpa integritas, tanpa spiritualitas—rusaklah alam, rusaklah kehidupan, rusak pula masa depan.”

Pemuda itu melanjutkan, kini tak lagi mampu menahan gejolak hatinya,
“Persoalannya adalah kapasitas yang rendah, ketidaktahuan, korupsi, dan keserakahan. Itulah pangkal bencana.”

Simbah menepuk bahunya lembut.
“Betul, anak muda. Simbah senang melihat engkau berani berpikir kritis dengan dasar ilmu. Teruslah belajar. Kuatkan spiritualitasmu. Engkaulah harapan masa depan. Sedang generasi simbah—sadar atau tidak—telah berdosa mewariskan dunia yang hampir rusak.”

Pemuda itu membungkuk takzim. Hujan pun berhenti, seolah ikut mendengarkan percakapan mereka. Keduanya pulang dalam diam—diam yang membawa luka, tetapi juga benih harapan.

Sebab kesadaran telah tumbuh, dari seorang pemuda yang kelak akan menjadi penjaga masa depan.

Wallāhu a‘lam.

Editor: Al-Afasy

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE