Ketika Sadar Waktu Kita Berbatas

PWMJATENG.COM, Mukena yang kupakai belum aku lepas usai salat subuh. Telepon berdering dan di seberang sana terdengar permintaan untuk diantar ke RS dengan nada yang cukup jelas walau sedikit bergetar. Tak terbesit sedikitpun bahwa pagi itu adalah pertemuan terakhir antara kami dan seorang sahabat.
Hanya beberapa menit tiba di rumahnya dan masih di lokasi yang sama sahabat kami menghembuskan nafas terakhirnya di pelukan suamiku. Begitu cepat dia dipanggil tanpa ada saudara dan anak-anaknya yang tahu karena tidak ada firasat apa pun sebelum kepergiannya. Dengan ditemani sang istri yang tampak kebingungan dan hanya bisa menangis, kami berusaha membantu yang bisa kami lakukan.
Berpulangnya sahabat yang cukup menyentak, mengingatkan kami kembali bahwa kematian adalah murni hak prerogatif Yang Maha Kuasa. Meski terdengar biasa tetapi saat terlibat langsung mendampingi, menemani orang-orang terdekat kita di detik-detik tersebut merupakan pengalaman yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ada rasa di dada yang masing-masing orang tidak sama.
Hal ini berulang kala membaca tulisan yang tertera di beberapa batu nisan (waktu berziarah ke makam ibu), hatiku sedikit tersendal gumregah. Sudahkah aku punya bekal menuju ke “sana”? Lebih tersentak lagi ketika di situ tertulis tahun kelahiran sama denganku atau malah lahir sesudah aku dan tahun wafatnya. Ada sejumlah pertanyaan pada diri sendiri dan yakin hanya diri sendiri pula yang mampu menjawabnya.
Andai saja tak ada orang di sekitarku mungkin aku sudah tersedu tak mampu menahan gejolak perasaaanku. Di saat tertentu aku memang tak gampang untuk menitikkan air mata, tetapi ketika melihat hamparan batu nisan yang berwarna-warni dengan aneka bentuk dan model, ternyata mampu membuat air mataku mengalir pelan di pipi dan tak mampu kucegah.
Ada rasa sesal yang amat dalam, mengapa sampai hari ini aku belum melakukan apa-apa dan rasa malu sekaligus sedih atas apa yang kukerjakan selama ini. Rasa malu atas kemurahan-Nya yang sudah aku abaikan dan juga malu karena terlalu banyak permintaan. Ternyata aku belum banyak bersyukur bahkan bisa disebut lalai untuk bersyukur. Mensyukuri nikmat waktu dan nikmat-nikmat lainnya yang tak terhitung.
Waktu adalah anugerah paling berharga yang dimiliki manusia. Setiap detik yang berlalu tak akan pernah kembali. Sayangnya, banyak dari kita sering menyia-nyiakan waktu, seolah-olah kita memiliki cadangan waktu tak terbatas. Padahal, kehidupan ini sejatinya singkat dan tak satupun dari kita yang tahu kapan ajal akan datang mendekat.
Waktu termasuk salah satu nikmat yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia. Bahkan, Allah SWT pernah bersumpah dengan menggunakan waktu di dalam surat Al-Asr:
وَالْعَصْرِۙ
اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ
(Wal-‘aṣr, innal-insāna lafī khusr)
Artinya: “Demi masa, sungguh, manusia berada dalam kerugian.” (QS Al-Asr: 1-2)
Islam mengajarkan agar kita memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Rasulullah SAW bersabda: “Gunakanlah lima perkara sebelum lima perkara; masa mudamu sebelum masa tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum fakirmu, luangmu sebelum sibukmu, dan hidupmu sebelum matimu.”
Hadis ini mengingatkan kita bahwa waktu tidak akan selalu berpihak pada kita dan kita tidak bisa bermain-main sesuka hati dengan waktu yang kita punya. Sering kali kita menunda-nunda kebaikan. “Ah, besok saja,” kata kita, padahal belum tentu besok kita masih bernapas. Tanpa disadari, waktu terus berjalan, umur terus berkurang, dan kesempatan bisa saja hilang.
Mengisi waktu dengan hal-hal yang bermanfaat adalah salah satu bentuk rasa syukur atas nikmatnya waktu. Selain makin mendekatkan diri kepada Allah, juga berbuat baik kepada sesama, menuntut ilmu dan selalu belajar memperbaiki diri serta melakukan amal-amal kebaikan lainnya. Tidak perlu menunggu nanti dan nanti, karena “nanti” belum tentu datang. Ajal justru bisa datang kapan saja, tanpa aba-aba.
Dalam firman-Nya, kita sebagai manusia sesungguhnya dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman, beramal saleh, saling nasihat-menasihati untuk kebenaran dan kesabaran. Lalu bagaimana jika selama ini kita terlanjur melakukan banyak kesalahan dan dosa? Masih adakah waktu untuk kita berbenah? Tentu saja pintu taubat selalu terbuka untuk hamba-Nya yang ingin memperbaiki diri dan memohon ampunan.
Menyadari dan menyesali perbuatan buruk di masa lalu tak kan selesai hanya dengan sebuah tangisan penyesalan. Namun, harus dengan niat yang sungguh-sungguh disertai keimanan dan ketakwaan pada Sang Khalik serta mohon petunjuk dalam membersihkan diri dari hal-hal yang merugikan.
Betapa berharganya setiap detik yang kita miliki. Sudah seharusnya kita gunakan untuk mencari bekal terbaik sebanyak-banyaknya agar kita lebih siap manakala dimintai pertanggungjawaban kelak di sana. Waktu adalah kesempatan dalam kehidupan dan ketika waktu habis, maka habislah pula kesempatan.
Kontributor: Wurry Srie (Ibu rumah tangga yang suka menulis, Koordinator Divisi Keluarga MTK PDA Jepara, masih aktif di PCA Donorojo).
Editor: Al-Afasy



