Mentera Ulang Indikator Al-Ma’un di Milad ke-113 Muhammadiyah

Oleh : Ikhwanushoffa
Lebih dari satu abad yang lalu, seorang Kyai besar namun bersahaja dengan telaten mengajar murid-murid mudanya. Yang diajar pertama kepada murid-murid tersebut bukanlah ayat yang jlimet dan susah dihafal. Namun surah pendek yang termuat di juzamma, ya surah al-Ma’un. Ini sungguh menarik untuk coba kita selami lagi. Kenapa harus surah al-Ma’un? Pertama yang paling mudah kita jawab, karena dari tiga ayat pertamanya saja sudah memuat indikator apakah Islam kita beneran atau bohong-bohongan.
Ketika dalam diri seseorang ada indikasi yadu‘ul-yatîm wa lâ yaḫudlu ‘alâ tha‘âmil-miskîn, maka bohong agamanya. Masih ditambah fa wailul lil-mushallîn, ketika melakukan sholat namun sâhûn dan yurâ’ûn. Ditambahi dengan wa yamna‘ûnal-mâ‘ûn. Ayat-ayat di al-Ma’un muhkamat semua. Kabar yang jelas. Tak ada yang mutasyabihat. Semua bisa langsung dipahami, namun tetap butuh elaborasi supaya tidak bertolak belakang dengan implementasi dalam kehidupan.
Ada tiga hal yang ditawarkan sebagai indikator pengamal al-Ma’un. Pertama, dari alam pikir. Karena tindakan kita adalah produk pikiran. Mari kita bayangkan tetiba dapat kabar rumah kita tertabrak proyek jalan tol. Dihadapan mata terdapat kontrak milyaran rupiah. Ketika teken kontrak milyaran seperti itu, apa yang pertama muncul dalam pikiran kita? Apakah langsung muncul berapa zakatnya dan berapa sedekahnya, ataukah yang muncul pertama beli-beli sesuatu? Bila, yang pertama muncul adalah zakat sedekah, insya Alloh selamatlah al-Ma’un kita.
Indikator kedua, bandingkan antara seberapa kita menebus kesenangan duniawi kita dibandingkan ketika untuk menebus kesenangan ukhrowi? Disini, dgunakan diksi kesenangan, bukan kebutuhan. Kesenangan duniawi seperti ngafe, nyoto, mbakso, ngrokok, mancing, touring, piknik, dan sejenisnya, sebulan habis berapa? Bandingkan dengan nominal sedekah dalam sebulan pula? Jika, biaya yang dikeluarkan untuk kesenangan dengan untuk sedekah minimal sebanding, insya Alloh masih aman al-Ma’un-nya.
Ketiga, bandingkan ketika untuk menunaikan syariat yang satu dengan syariat yang lain. Tentu sama-sama syariat yang mengeluarkan biaya signifikan menurut rata-rata. Sepertinya kita pahami, rukun Islam mestinya runtut. “Ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dn bahwa aku adalah utusan Allah. Apabila mereka mau menuruti ajakanmu itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah SWT mewajibkan mereka sholat lima kali sehari semalam. Apabila mereka telah menaatinya, maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan mereka zakat yang dipungut dari orang-orang kaya di antara mereka, dan diberikan kepada orang-orang yang miskin di antara mereka.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dari hadits tersebut bisa dipahami, bahwa syariat yang lebih awal adalah lebih utama dibandingkan yang dibelakangnya. Sehingga dapat disimpulkan, bila untuk umroh ikhlas keluar Rp 20 juta, tentunya telah ikhlas pula untuk berinfak minimal Rp 20 juta. Bila untuk berhaji rela keluar total Rp 100 juta, tentunya telah rela pula bersedekah minimal Rp 100 juta. Bila belum siap, lebih baik matangkan dulu rukun Islam ketiga sebagai indikator utama al-Ma’un. Sebelumnya haji dan umroh pastikan zakat dan infaknya telah keluar sebesar minimal biaya untuk rukun Islam terakhir tersebut. Ketiga indikator tersebut masih indikator minimal. Bila dibandingkan indikator yang dibangun Kyai Dahlan kala itu terhadap warga Muhammadiyah, belum apa-apanya. Selamat menyambut Milad Muhammadiyah ke-113 tahun dengan al-Ma’un, demi menggembirakan mustadz’afin.
Wallaahu a’lam.



