Makna Aurat dan Jilbab dalam Perspektif Tarjih Muhammadiyah

PWMJATENG.COM, Surakarta – Dalam sebuah kajian yang disampaikan oleh dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta (FAI UMS), Mahasri Shobahiya, terungkap bahwa fatwa tentang aurat dan jilbab yang kini menjadi rujukan umat bermula dari sebuah tanya jawab di majalah Suara Muhammadiyah edisi No. 18 tahun 2003. Pertanyaan itu kemudian berkembang menjadi fatwa resmi dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid 7 yang diterbitkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Dalam pemaparannya, Mahasri menjelaskan bahwa dasar hukum menutup aurat bersumber dari dua ayat Al-Qur’an, yakni Surah An-Nur ayat 31 dan Surah Al-Ahzab ayat 59. Kedua ayat tersebut menjadi pijakan teologis yang kokoh bagi kewajiban perempuan Muslim untuk menutup aurat.
“Katakanlah kepada para perempuan yang beriman hendaklah mereka menjaga pandangannya, memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) terlihat. Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya,” (QS. An-Nur: 31).
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin supaya mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah dikenali sehingga mereka tidak diganggu,” (QS. Al-Ahzab: 59).
Menurut Mahasri, kedua ayat tersebut bukan hanya berbicara tentang etika berpakaian, tetapi juga tentang kehormatan dan perlindungan terhadap perempuan. “Islam datang untuk melindungi dan memuliakan perempuan. Jilbab bukan sekadar simbol keagamaan, melainkan perintah ilahi yang bertujuan menjaga martabat,” ujarnya.
Secara bahasa, istilah aurat berarti sesuatu yang sepatutnya ditutupi karena menimbulkan rasa malu apabila terlihat. Sedangkan dalam pengertian syar’i, aurat ialah bagian tubuh manusia yang wajib ditutupi dan haram dilihat oleh orang lain. Adapun kata jilbab berasal dari akar kata jalbaba, yang bermakna mengenakan pakaian panjang atau baju kurung. Menurut tafsir Al-Qurthubi, jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh, bukan hanya penutup kepala.
Baca juga, Aplikasi Al-Qur’an Muhammadiyah (Qur’anMu)
Berdasarkan penafsiran tersebut, Majelis Tarjih Muhammadiyah menyimpulkan bahwa jilbab adalah pakaian lengkap yang mencakup kerudung dan baju kurung, menutupi seluruh bagian tubuh kecuali yang dikecualikan oleh syariat.
Mahasri juga mengulas konteks sosial turunnya ayat tentang jilbab. Pada masa awal Islam, sebagian perempuan masih mengenakan pakaian gaya jahiliyah yang memperlihatkan sebagian tubuh, sehingga sering menjadi sasaran gangguan. “Maka Islam memerintahkan kaum perempuan mengenakan pakaian yang menutup aurat agar terjaga dari gangguan dan penghinaan sosial,” jelasnya.

Dalam hal bentuk dan bahan pakaian, Al-Qurthubi menegaskan bahwa pakaian penutup aurat hendaknya terbuat dari bahan yang tidak transparan dan berpotongan longgar, sehingga tidak menonjolkan lekuk tubuh.
Lebih lanjut, Mahasri menjelaskan bahwa perintah menutup aurat bersifat universal. “Majelis Tarjih menegaskan bahwa kewajiban menutup aurat tidak hanya berlaku bagi keluarga Nabi atau masyarakat Arab, tetapi bagi seluruh umat Islam di berbagai tempat dan zaman,” ujarnya menegaskan.
Dalam kajian tersebut, Mahasri juga memaparkan batas-batas aurat menurut para ulama. Di antaranya, aurat laki-laki terhadap laki-laki lain adalah antara pusar hingga lutut, sedangkan aurat perempuan terhadap sesama perempuan juga dalam batas yang sama. Adapun bagi perempuan terhadap laki-laki yang bukan mahram, sebagian besar ulama sepakat bahwa seluruh tubuh adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan.
Pandangan ini pula yang akhirnya dijadikan dasar oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam menetapkan fatwanya. Dengan mempertimbangkan konteks sosial dan budaya perempuan Indonesia, MTT berpendapat bahwa aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
Namun demikian, Mahasri menegaskan bahwa perbedaan pandangan tetap dihormati. “Majelis Tarjih tidak menafikan pendapat lain yang menganggap seluruh tubuh perempuan adalah aurat, karena pendapat itu pun memiliki landasan kuat dalam khazanah fikih Islam,” tutupnya.
Kontributor : Adi
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha



