
PWMJATENG.COM, Surakarta – Indonesia dikenal sebagai negara dengan tingkat risiko bencana tertinggi di dunia. Kondisi geografis yang kompleks dan iklim tropis membuat banyak wilayah, termasuk Jawa Tengah, rentan terhadap banjir dan cuaca ekstrem. Hal tersebut disampaikan oleh Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Muzakar Isa, dalam peringatan International Day for Disaster Risk Reduction pada Senin (13/10).
Isa menjelaskan bahwa banjir masih menjadi bencana paling sering terjadi di Jawa Tengah, disusul cuaca ekstrem yang sulit diprediksi. “Kalau gunung Merapi tidak begitu besar dampaknya. Yang utama justru banjir dan perubahan iklim, dan ini harus diantisipasi bersama,” ujarnya.
Menurutnya, peringatan Hari Internasional Pengurangan Risiko Bencana merupakan momentum penting untuk memperkuat kesadaran kolektif terhadap dampak besar bencana bagi kehidupan masyarakat. “Konsep disaster risk reduction terus berkembang. Intinya, bagaimana kita bisa mengurangi dampak bencana agar tidak mengganggu kesejahteraan masyarakat, bahkan tidak menghambat pertumbuhan ekonomi,” ungkap Guru Besar UMS itu.
Isa menilai, bencana tidak hanya menimbulkan kerugian fisik, tetapi juga berdampak pada aspek sosial dan ekonomi. Ia menjelaskan bahwa konsep dasar pengurangan risiko bencana berangkat dari formula sederhana, yakni risiko merupakan hasil perkalian antara bahaya (hazard) dan kerentanan (vulnerability). “Kami di bidang sosial fokus pada bagaimana meningkatkan kapasitas adaptif masyarakat agar kerentanannya menurun,” tuturnya.
Kerentanan masyarakat, lanjutnya, ditentukan oleh tiga faktor utama: tingkat keterpaparan (exposure), kepekaan (sensitivity), dan kemampuan adaptasi (adaptive capacity). “Kuncinya meningkatkan kapasitas adaptif dan menurunkan sensitivitas. Misalnya di wilayah pesisir, masyarakat perlu diberdayakan agar tidak terlalu rentan secara sosial dan ekonomi,” jelasnya.
Setiap daerah, tambahnya, memiliki karakteristik bencana yang berbeda. “Di Solo berbeda dengan di pesisir. Kalau di perkotaan, yang perlu diperkuat adalah kapasitas adaptifnya. Jadi, penanganannya tidak bisa disamaratakan,” katanya.
Ia mengakui bahwa penanggulangan bencana di Indonesia sudah menunjukkan kemajuan, tetapi masih menghadapi kendala dalam tata kelola dan koordinasi. “Sekarang masih banyak yang berjalan parsial. Pemerintah, LSM, dan perguruan tinggi sering bekerja sendiri-sendiri. Padahal, penanganan bencana itu harus kolaboratif,” tegas Isa.
Baca juga, Muhammadiyah Umumkan Jadwal Puasa Ramadan 2026, Catat Tanggal Resminya!
Berdasarkan risetnya, ia mengusulkan model tata kelola pengurangan risiko bencana berbasis kolaborasi yang disebut konsep ABGC+M, yaitu Academics, Business, Government, Community, dan Media. “Akademisi berperan dalam riset dan edukasi, bisnis berperan dalam pendanaan dan inovasi, pemerintah dalam regulasi, masyarakat dalam kesiapsiagaan, dan media dalam edukasi publik,” paparnya.

Menurut Isa, perguruan tinggi seperti UMS memiliki peran strategis dalam mendukung pengurangan risiko bencana. “UMS punya banyak ahli di berbagai bidang—mulai dari Teknik Sipil, Arsitektur, Ekonomi, hingga Psikologi. Melalui riset, pengabdian, seminar, dan pendampingan, UMS berkontribusi nyata membangun masyarakat yang tangguh bencana,” katanya.
Ia menekankan bahwa konsep pembangunan ketahanan atau resilience tidak hanya terkait infrastruktur, melainkan juga kesiapan sosial dan ekonomi. “Kita tidak bisa menunggu bencana datang baru bertindak. Mitigasi dan kesiapsiagaan harus jadi bagian dari perencanaan sejak awal,” tuturnya.
Isa juga menyoroti pentingnya investasi dalam upaya pengurangan risiko bencana. Ia menilai, program seperti desa tangguh bencana perlu diperluas. “Membangun resiliensi butuh investasi jangka panjang dan kesadaran kolektif, baik dari pemerintah maupun swasta,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa memahami risiko bencana bukan hanya tugas pemerintah. “Perguruan tinggi, masyarakat, tokoh agama, dan media punya peran penting. Mitigasi harus dilakukan jauh sebelum bencana datang,” katanya.
Menutup pernyataannya, Isa menyampaikan pesan reflektif pada peringatan International Day for Disaster Risk Reduction. “Bencana adalah sunatullah, sesuatu yang pasti terjadi. Maka, yang bisa kita lakukan adalah menyiapkan diri. Kadang bencana justru menjadi momentum untuk tumbuh, karena melahirkan inovasi dan pelaku usaha baru yang lebih tangguh,” pungkasnya.
Kontributor : Fika
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha