BeritaPWM Jateng

Muhammadiyah dan Paradigma Dakwah yang Berbudaya

PWMJATENG.COM – Dalam sebuah pengajian Ahad Kliwon di Masjid Al-Musannif, Tabligh Institute, Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Tafsir, menyampaikan gagasan yang menarik perhatian. Ia menegaskan pentingnya menghadirkan pendekatan sastra sebagai bagian dari strategi dakwah dan pembangunan peradaban Islam modern. Menurutnya, dakwah tidak cukup hanya berbicara dalam bahasa normatif atau teologis, tetapi juga harus menembus ruang estetik manusia melalui karya sastra.

Tafsir menyebut bahwa umat Islam memiliki kekayaan nonbendawi yang sangat kuat dalam bentuk sastra, syair, dan seni tutur. “Kita tidak punya karya benda, punyanya karya nonbenda berupa syair-syair,” ungkapnya dalam pengajian itu. Pernyataan ini menegaskan bahwa kekuatan Islam tidak semata terletak pada benda fisik, melainkan pada daya cipta dan imajinasi yang hidup di dalam teks, bahasa, dan ekspresi sastra umatnya.

Menurut Tafsir, sastra memiliki peran penting dalam menumbuhkan kesadaran dan menggugah jiwa manusia. Pendekatan sastra dalam dakwah bukan hanya bertujuan menyampaikan pesan agama, tetapi juga menghidupkan nilai kemanusiaan, keindahan, dan kebudayaan yang melekat dalam ajaran Islam. “Bahwa ini karya sastra. Maka dibaca, diapresiasi pada konteks sebuah karya sastra,” ujarnya menegaskan.

Ia menilai, apresiasi terhadap karya sastra perlu ditempatkan secara proporsional dalam denyut nadi gerak dakwah dan kebudayaan. Hal ini sejalan dengan semangat Islam sebagai agama yang tidak hanya mengatur ibadah ritual, tetapi juga menumbuhkan nilai-nilai keindahan (jamāl), sebagaimana termaktub dalam hadis Nabi Muhammad ﷺ:

إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ

“Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan.” (HR. Muslim)

Melalui keindahan bahasa dan ungkapan sastra, pesan-pesan dakwah dapat menyentuh hati manusia lebih dalam. Dakwah pun menjadi dialog kultural yang mampu membangun jembatan antara teks keagamaan dan realitas kehidupan.

Tafsir menekankan bahwa karya sastra dan budaya yang lahir di masyarakat harus ditempatkan dalam ruang yang proporsional. “Tempatkan sebagai karya sastra. Aspirasinya sastra, sebagai karya sastra dan karya seni. Bukan untuk disakralkan, bukan untuk ritual yang sakral, tetapi untuk sebuah festival. Jadi kita ubah, dari sakral menjadi festival,” jelasnya.

Gagasan ini menandai pergeseran penting dalam cara memahami budaya Islam. Tafsir tidak mengajak untuk meniadakan tradisi, melainkan menata ulang cara umat berinteraksi dengan warisan budaya mereka. Dalam pandangannya, tradisi yang selama ini dianggap sakral dapat dihidupkan kembali dalam bentuk festival budaya, sehingga menjadi ruang ekspresi sosial yang menggembirakan dan memperkuat kebersamaan.

Transformasi dari sakral menuju festival ini bukanlah bentuk sekularisasi, tetapi upaya untuk menghidupkan semangat kebudayaan Islam yang menggembirakan. Dalam festival, masyarakat dapat menampilkan kreativitas dan nilai-nilai keislaman dengan cara yang lebih terbuka, komunikatif, dan penuh makna.

Baca juga, Muhammadiyah Umumkan Jadwal Puasa Ramadan 2026, Catat Tanggal Resminya!

Bagi Tafsir, dakwah bukan hanya tugas menyampaikan ajaran, tetapi juga membangun peradaban. Dan peradaban, menurutnya, tumbuh dari kreativitas budaya. Dengan menjadikan sastra sebagai medium dakwah, umat Islam dapat memperkuat daya cipta, membuka ruang tafsir sosial, dan menghidupkan kembali tradisi literasi yang pernah menjadi puncak kejayaan Islam.

Ia menegaskan bahwa karya sastra bukan untuk disakralkan, melainkan untuk dinikmati, dihayati, dan dijadikan sarana memperkuat nilai-nilai kemanusiaan. Di sinilah letak kekuatan Islam sebagai agama yang mendorong umatnya untuk berkreasi dan berbudaya.

Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)

Ayat ini tidak hanya bermakna ritual, melainkan juga pengabdian dalam bentuk kreativitas dan pembangunan peradaban yang berorientasi pada nilai-nilai Ilahi.

Dengan menempatkan sastra dalam posisi strategis, Muhammadiyah melalui pemikiran Tafsir berupaya menghadirkan paradigma dakwah yang lebih manusiawi dan berbudaya. Dakwah tidak berhenti pada ceramah atau nasihat moral, tetapi berkembang menjadi gerakan kebudayaan yang membentuk karakter bangsa.

Sastra menjadi jembatan antara teks agama dan realitas sosial. Ia memungkinkan dakwah hadir dalam bentuk yang indah, reflektif, dan inspiratif. Ketika karya sastra menjadi bagian dari festival rakyat, maka dakwah bukan lagi hanya kegiatan simbolik, tetapi menjadi bagian dari denyut kehidupan masyarakat.

Tafsir menutup pesannya dengan harapan agar umat Islam tidak alergi terhadap ekspresi budaya. Sastra dan seni, katanya, adalah bagian dari rahmat Allah yang bisa memperindah dakwah dan menguatkan peradaban manusia.

Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE