Jejak Hijrah Nabi Ibrahim: Dari Babilonia ke Makkah, Risalah Tauhid yang Abadi

PWMJATENG.COM – Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Zakiyuddin Baidhawy, dalam sebuah tausiyahnya menekankan pentingnya meneladani perjalanan spiritual Nabi Ibrahim. Ia menguraikan bahwa kisah Nabi Ibrahim bukan sekadar sejarah, melainkan fondasi risalah tauhid yang diwariskan hingga kepada Nabi Muhammad ﷺ.
Zakiyuddin menjelaskan bahwa asal-usul Nabi Ibrahim berasal dari sebuah negeri kuno bernama Babilonia, yang saat ini termasuk wilayah Irak. Dahulu, negeri tersebut dikenal sangat makmur dan sejahtera. Namun, di balik kejayaannya, Babilonia diperintah oleh seorang raja zalim dan kejam bernama Namrud. “Nabi Ibrahim harus berhadapan dengan Raja Namrud, bahkan juga berseberangan dengan ayahnya sendiri, Azar, seorang pembuat patung berhala,” tuturnya.
Azar, ayah Nabi Ibrahim, digambarkan sebagai maestro pembuatan berhala. Patung yang dibuatnya berasal dari batu hingga gandum. Zakiyuddin menuturkan secara satir, bahwa patung dari gandum itu setelah disembah bisa dimakan ketika pemujanya merasa lapar. Dari sinilah muncul kritik keras Nabi Ibrahim terhadap penyembahan berhala.
Konflik semakin memuncak ketika Nabi Ibrahim menghancurkan patung besar yang diagungkan kaumnya. Ia meletakkan kapak pada leher patung itu, seakan-akan menantang kaumnya untuk meminta penjelasan dari “tuhan” mereka. Nabi Ibrahim menyindir dengan berkata, jika berhala itu benar Tuhan, seharusnya ia mampu membela diri. Namun, berhala itu bisu dan tidak berdaya.
Kondisi ini menegaskan kelemahan keyakinan masyarakat Babilonia. Nabi Ibrahim menegaskan bahwa hanya Allah ﷻ yang Maha Mengetahui, sebagaimana firman-Nya:
وَٱللَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ ٱلصُّدُورِ
“Dan Allah Maha Mengetahui apa yang ada di dalam dada.” (QS. Ali Imran: 154)
Hijrah sebagai Jalan Dakwah
Perlawanan terhadap Namrud membuat Nabi Ibrahim harus hijrah. Zakiyuddin menjelaskan bahwa hijrah tidak hanya dilakukan oleh Nabi Muhammad ﷺ, melainkan telah lebih dahulu diteladankan Nabi Ibrahim. Ia menempuh perjalanan panjang lebih dari 2.000 kilometer dari Babilonia menuju wilayah Irak bagian utara. Perjalanan ini memakan waktu lebih dari 400 hari.
“Bayangkan, jarak Makkah ke Madinah hanya sekitar 500 kilometer, sedangkan Nabi Ibrahim menempuh empat kali lipat lebih jauh tanpa kendaraan modern,” jelasnya. Nabi Ibrahim melakukan itu karena dakwahnya tidak mungkin berkembang di tengah kaum yang keras menolak kebenaran.
Dari Irak, perjalanan berlanjut ke Palestina. Ia ditemani istrinya, Sarah, yang rela meninggalkan kenyamanan istana demi mendampingi suaminya dalam ketaatan kepada Allah. Zakiyuddin menekankan bahwa sikap Sarah adalah bukti kesalehan dan keteguhan iman.
Pertemuan dengan Hajar
Kisah berlanjut ketika Nabi Ibrahim berpindah ke Mesir. Pada masa itu, Mesir sedang berperang dengan Kerajaan Magrib. Putri kerajaan Magrib bernama Hajar ditawan dan kemudian diperbantukan kepada Sarah. Dari sinilah sejarah besar dimulai, ketika Nabi Ibrahim menikahi Hajar dan dikaruniai seorang anak, yaitu Ismail.
Baca juga, Kiat-kiat Istri Salehah Sekaligus Wanita Karir ala Siti Khadijah
Zakiyuddin meluruskan pemahaman keliru bahwa Hajar bukanlah budak biasa, melainkan putri seorang raja yang ditaklukkan dalam peperangan.
Perjalanan ke Makkah dan Lahirnya Ibadah Haji
Dari Palestina, Nabi Ibrahim kembali diperintahkan Allah untuk hijrah ke wilayah tandus yang kemudian dikenal dengan nama Bakkah, yaitu Makkah. Di sanalah ia meninggalkan Hajar dan bayi Ismail.
Dalam keadaan putus asa mencari air, Hajar berlari-lari antara bukit Shafa dan Marwah hingga tujuh kali. Dari jejak kaki Ismail, dengan izin Allah, memancarlah air yang kemudian disebut zamzam. Kata “zamzam” berasal dari seruan Hajar: “zam, zam” yang berarti “berkumpullah, jangan menyebar.”
Inilah awal mula ritual sa’i dalam ibadah haji. Zakiyuddin menekankan bahwa ibadah haji sejatinya adalah napak tilas pengorbanan Nabi Ibrahim dan keluarganya, bukan sekadar perjalanan nyaman dengan fasilitas mewah.
Garis Keturunan dan Risalah Tauhid
Dari keturunan Nabi Ibrahim, lahirlah dua jalur besar. Dari Sarah, lahir Ishak yang kemudian menurunkan banyak nabi hingga Isa Alaihissalam. Dari Hajar, lahir Ismail yang menjadi leluhur Nabi Muhammad ﷺ. Dengan demikian, Islam adalah kelanjutan dari risalah tauhid Nabi Ibrahim.
Zakiyuddin mengutip firman Allah dalam Al-Qur’an yang menegaskan bahwa Nabi Ibrahim bukan Yahudi dan bukan pula Nasrani:
مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيّٗا وَلَا نَصْرَانِيّٗا وَلَٰكِن كَانَ حَنِيفٗا مُّسْلِمٗا وَمَا كَانَ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ
“Bukanlah Ibrahim itu seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi ia adalah seorang yang hanif lagi berserah diri (muslim), dan sekali-kali bukanlah ia termasuk orang-orang musyrik.” (QS. Ali Imran: 67)
Ayat ini menegaskan bahwa ajaran Islam merupakan kelanjutan dari millah Ibrahim, bukan sekadar kelahiran baru agama. Nabi Muhammad ﷺ diutus sebagai penutup risalah dengan membawa Islam sebagai jalan yang lurus. Allah ﷻ berfirman:
قُلۡ إِنَّنِي هَدَىٰنِي رَبِّيٓ إِلَىٰ صِرَٰطٖ مُّسۡتَقِيمٖ
“Katakanlah: Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-An’am: 161)
Zakiyuddin Baidhawy menegaskan bahwa perjalanan hijrah Nabi Ibrahim mengajarkan banyak hal: tentang keteguhan iman, kesetiaan keluarga, dan pengorbanan demi menegakkan tauhid. Jejak hijrah itu masih terasa hingga kini melalui ibadah haji yang menjadi rukun Islam kelima.
Dengan meneladani Nabi Ibrahim, umat Islam diingatkan untuk senantiasa menjaga kemurnian tauhid, berani berkorban, dan selalu siap berhijrah—bukan sekadar berpindah tempat, melainkan berpindah menuju kehidupan yang lebih diridai Allah ﷻ.
Kontributor : Khairun Nisa
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha