80 Tahun Indonesia Merdeka: Menjawab Tantangan Persatuan dan Keadilan

3 jam yang lalu

0 2 minutes read

Oleh: Rudi Pramono, S.E. (Ketua MPI PDM Wonosobo)

PWMJATENG.COM – Delapan dekade setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, pertanyaan mendasar muncul: apakah kemerdekaan itu sudah benar-benar dirasakan oleh seluruh rakyat, dari Aceh hingga Papua, serta di kepulauan Maluku dan Kalimantan?

Kemerdekaan tidak semata berarti bebas dari penjajahan fisik, tetapi juga hadirnya keadilan, kesejahteraan, serta rasa memiliki bagi semua warga bangsa. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa masih ada daerah yang merasa termarjinalkan. Wilayah dengan kekayaan sumber daya alam berlimpah seperti Aceh, Papua, Maluku, hingga Kalimantan, masih menyuarakan kegelisahan: mengapa kekayaan alam tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan mereka?

Refleksi dari para pemimpin daerah, termasuk mereka yang pernah bersentuhan dengan konflik masa lalu, menjadi cermin bahwa kompromi politik tidak cukup tanpa keadilan substantif. Demokrasi memang memberi ruang untuk berbicara, tetapi tidak boleh berhenti pada wacana. Demokrasi harus diterjemahkan dalam keberpihakan nyata terhadap rakyat, khususnya mereka yang selama ini hanya menjadi penonton pembangunan.

Isu pemisahan daerah tidak pernah muncul dari ruang kosong. Ia tumbuh dari rasa kecewa yang dipendam, dari ketimpangan yang terus terjadi, serta dari janji-janji pembangunan yang belum ditepati. Sebagai bangsa, kita dihadapkan pada pilihan: merawat luka tersebut atau membiarkannya semakin dalam hingga sulit disembuhkan.

Baca juga, Jejak Hijrah Nabi Ibrahim: Dari Babilonia ke Makkah, Risalah Tauhid yang Abadi

Pendekatan keras yang pernah digunakan di masa lalu bukan lagi jawaban. Dunia kini berubah. Kekuatan bangsa tidak lagi diukur dari tangan besi, melainkan dari kemampuan mendengar, memahami, dan memperbaiki keadaan. Indonesia tidak akan utuh karena paksaan, tetapi karena hadirnya keadilan. Ia akan kuat bukan karena rakyat takut, melainkan karena mereka mencintai tanah air. Cinta itu hanya tumbuh jika rakyat merasa dihargai, dilibatkan, dan diberi harapan.

Memasuki usia 80 tahun kemerdekaan, bangsa ini perlu lebih dari sekadar merayakan simbol. Momentum ini harus dimaknai sebagai kesempatan untuk menyelesaikan substansi pembangunan. Demokrasi seharusnya tidak berhenti pada prosedur, tetapi menjadi sarana transformasi nyata.

Cita-cita itu harus diwujudkan: agar anak-anak Papua tidak lagi menempuh perjalanan puluhan kilometer hanya untuk sekolah, agar nelayan Maluku lebih mudah mengakses pasar, agar petani Aceh mendapatkan harga yang adil, serta agar Kalimantan sebagai paru-paru dunia tidak menjadi korban atas nama pembangunan yang tidak berpihak.

Jika keadilan menjadi napas bersama, tidak ada daerah yang ingin berpisah. Mereka akan merasa menjadi bagian utuh dari rumah besar bernama Indonesia. Dengan demikian, kemerdekaan benar-benar hadir sebagai anugerah bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali.

Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha

Jumlah Pengunjung : 63