Kolom

TRADISI SYAWALAN KALIWUNGU DALAM PERSPEKTIF MUHAMMADIYAH

Oleh : Abdul Ghofur, Aktivis Muhammadiyah tinggal di Kendal

Setiap pasca lebaran Iedul Fitri di Kendal, khususnya daerah Kaliwungu, Kendal masyarakat selalu merayakan tradisi turun temurun dari nenek moyang yang dikenal dengan pesta syawalan, kupatan, atau bodho (bakdo) syawal, bodho kupat. Tradisi syawalan di Kaliwungu dimulai menjelang sore, memasuki tanggal 8 Syawal dengan rangkaian upacara budaya Islam setempat, seperti tahlilan kolosal dan tradisi Islam lainnya.

Dalam buku ‘Manusia dan Kebudayaan Indonesia’, Koentjaraningrat menulis, bahwa sejarah syawalan di Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kendal adalah salah satu tradisi dan budaya Islam Jawa yang masih hidup dengan adanya penghormatan kepada makam-makam orang suci, baik ulama’ maupun kyai.

Adalah Kyai Asy’ari (Kyai Guru) yang wafat pada tanggal 8 Syawal dan dimakamkan di Protomulyo menjadi tempat tujuan para peziarah. Selain makam Kyai Guru juga makam Sunan Katong juga menjadi magnet bagi para pengunjung syawalan.

Bermula ziarah tersebut mengirim do’a di makam Kyai Asy’ari yang dilakukan hanya oleh keluarga dan keturunan Kyai Asy’ari, tetapi lama kelamaan diikuti oleh masyarakat muslim di Kaliwungu dan sekitarnya. Akhirnya kegiatan ziarah semakin massif dan meluas ke beberapa makam di sekitar untuk ikut dikunjungi, seperti makam Pangeran Mandurarejo (Panglima Mataram), Pangeran Pakuwojo. Belakangan para peziarah merambah ke makam Kyai Mustofa, Kyai Musyafa’ dan Kyai Rukyat.

Ribuan pengunjung mendatangi makam-makam tersebut. Mereka rela berjalan kaki dan mendaki bukit terjal sekitar 5 km dengan berdesak-desakan agar bisa mendekati kuncup makam para leluhur untuk memanjatkan do’a kepada para almarhum mereka.

Dalam perkembangan tradisi syawalan Kaliwungu pihak pemerintah Kabupaten Kendal mengupayakan tradisi tersebut dijadikan obyek wisata religi  dan kompleks makam ini bisa dijadikan tujuan wisata. Dampak ekonomi juga dirasakan oleh masyarakat, karena selama syawalan berlangsung para penjual menawarkan dagangannya, mulai dari makanan, pakaian, mainan, dan juga hiburan disediakan.

Lantas bagaimana perspektif Muhammadiyah, khususnya PDM Kendal dalam memandang dan mensikapi adanya tradisi pesta syawalan di Kaliwungu, adakah unsur syiriknya, dan bisakah kultur tersebut dijadikan media dakwah bagi Muhammadiyah ?

Muhammadiyah sepakat bahwa organisasi yang didirikan oleh almarhum KH. Ahmad Dahlan made into media dakwah amar makruf nahi mungkar, dan dalam perjalanan dakwah Muhammadiyah berhadapan langsung dengan berbagai persoalan yang ada di tengah-tengah masyarakat, di dalamnya terdapat budaya-budaya yang beragam dan dinilai sebagai budaya Islam, antara laian ziarah dan tahlilan.

Sedang di tengah masyarakat masih dengan santer berkembang, ‘menggebug’ Muhammadiyah melarang ziarah (mengunjungi) kuburan, dan perlu diingat tradisi syawalan Kaliwungu sangat lekat dengan ziarah kuburan, tentu di dalamnya terdapat tahlilan yang mengalir deras dari rombongan satu berganti dengan rombongan lainnya. Bahkan terjadi distorsi, bahwa Muhammadiyah ditempatkan sebagai organisasi keagamaan tetapi dinilai oleh kelompok sebelah tidak paham dengan agama, karena melarang perbuatan itu. Padahal semua itu adalah manipulasi informasi yang sengaja dihembuskan, disalahgunakan untuk melakukan pembelaan terhadap tradisi yang mendapat kritikan itu.

Sejatinya Muhammadiyah sendiri tidak pernah melarang ummatnya untuk melakukan ziarah kubur, selama kegiatan itu sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh Rasulullah. Hal tersebut pernah diunggapkan ketua ketua umum PP Muhammadiyahy, Haerdar Nashir, namun beliau memberi catatan, jangan terlalu sering ziarah kubur, karena banyak sunnah Nabi lainnya yang lebih besar yang harus dikerjakan untuk memajukan ummat dan bangsa. Baliau juga berpesan, jangan mengeramatkan, meminta-minta, dan mengkultuskan orang yang  mati maupun mengeramatkan kuburannya sebab perbuatan tersebut dapat menjurus atau termasuk ke tindakan syirik. Berziarahlah sesuai tuntunan Rasulullah SAW.

Terkait dengan budaya tahlilan, Haedar Nashir mengatakan Muhammadiyah tidak pernah menganjurkan yasinan, tahlilan, dan shalawatan. Namun beliau menganjurkan membaca Al qur’an seluruhnya (bukan hanya Surat Yasin), berdzikir kepada Allah (termasuk melafadzkan Laa Ilaaha Illa Allah), serta bershalawat kepada Nabi Muhammad diharuskan dan dianjurkan serta bernilai ibadah bagi setiap muslim (termasuk warga Muhammadiyah) yang kaifiyahnya mengikuti tuntunan Rasulullah SAW.

Dalam khazanah putusan tarjih, terdapat dua paparan yang dijadikan pedoman jika berkehendak ziarah qubur. Pertama hukum ziarah qubur awalnya dilarang oleh Rasulullah, karena dekatnya zaman itu dengan zaman jahiliyah. Beliau mengkhawatirkan ziarah qubur mendjadi media menyekutukan Allah. Namun setelah iman para shahabat kuat, ziarah qubur diperbolehkan, karena memiliki kemanfaatan, diantaranya mengingat kematian. Kedua amalan ziarah qubur diawali dengan niat ziarah karena Allah. Niat tidak terkontaminasi dengan kemusyrikan, dilanjutkan dengan uluk salam, ‘Assalamu alaikum daara qaumi mu’miniin. Berikutnya melepas alas kaki. Ketika berada selama di kuburan seseorang beretika menghadap kiblat, tidak menduduki kuburan, medoakan kepada ahli qubur, dilarang meminta-minta kepada penghuni kuburan dan menjadikannya sebagai perantara kepada Allah.

Muhammadiyah Kendal sebagai institusi yang turut menyaksikan tradisi syawalan di Kaliwungu memiliki sikap siap melakukan dialog kontruktif dan melakukan pemahaman yang shohih terkait ziarah kubur kepada warga persyarikatan melalui pengajian yang terstruktur. Maraknya tradisi syawalan di Kaliwungu tidak lepas karena budaya yang turun temurun dan dinilai sangat lekat, serasi dengan Islam tradisional (NU), juga didukung oleh masyarakat Kendal fanatisme ajaran-ajaran NU dengan klaimnya Islam Ahlussunah Wal Jamaah. Selama mereka bermazhab NU dan tidak ada toleransi masuknya faham Islam berkemajuan (Muhammadiyah), maka yang terjadi adalah tradisi syawalan Kaliwungu jumud seperti sekarang ini. Muhammadiyah Kendal perlu melakukan pembaharuan tradisi syawalan, ziarah kubur sesuai tuntunan Rasulullah.

Sambil menunggu dibukanya pintu hati warga nahdhiyin, memahami dan menerima right of guidanceisme sesuai sunnah Nabi, persyarikatan tetap melakukan penguatan aqidah dan ibadah kepada warganya sesuai faham Muhammadiyah. (Penulis adalah Ketua Umum PD IPM Kota Semarang 1989-1991, sekarang Sekretaris MPI PDM Kendal)

 

 

 

Aji Rustam

Jurnalis MPI PWM Jateng, Wartawan Seniour TribunJateng

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close

Tidak bisa menyalin halaman ini karena dilindungi copyright redaksi. Selengkapnya hubungi redaksi melalui email.

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE