Kolom

Polarisasi Kaum Santri-Abangan Kekinian

oleh Dhima W. Sejati [ Pegiat Darwis Foundation ]

MELALUI keputusan presiden Nomor 22 Tahun 2015, empat tahun lalu tepat tanggal 22 Okteber 2015 periseden Joko Widodo menetapakan hari tersebut sebagai hari santri nasional. Secara politis, ini merupakan penunaian janji kampanye Jokowi-Jk pada ajang pilpres 2014 lalu.

Secara garis besar, penetapan ini juga bertujuan untuk membangkikan ruh semangat resolusi jihad kaum santri pada masa penjajahan. Namun konsekuensi, penetapan hari santri nasional bisa saja berdampak negatif. Sebab potensi polarisasi santri-abangan muncul kembali.

Dikotomi kaum santri-abangan setidaknya dikenal seara luas melalui buku yang ditulis oleh Clifford Geertz, The Relagion of Java diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan judul Agama Jawa. Buku tersebut membagi kelas sosial masyarakat jawa menjadi tiga bagaian; abangan, santri dan priyayi.

Varian abangan wewakili kelompok masyarkat yang memegang adat jawa. Sekalipun beragama Islam namun nilai-nilai yang diterapkan adalah kejawen. Terdapat juga pesta kamunal dalam tradisi abangan yaitu selametan.

Sedangkan varian santri merupakan kaum terpelajar. Mereka belajar di madrasah atau pondok, belajar kitab dan Bahasa Arab . Kaum santri selalu menampakan perilaku keislamannya. Tidak seperti abangan, kaum santri di beberapa bagian justru menolak adat jawa karena bertentangan dengan ajaran Islam.

Terakhir varian priyayi. Secara umum digambarkan bahwa kaum priyayi adalah mereka yang keturunan ningrat. Pengertian juga melebar pada orang-orang kaya dan para pegawai pemerintah. Mereka adalah orang-orang berkududukan. Masyarakat mengelompokan mereka sebagai priyayi.

Momentum hari santri nasional seakan menegaskan dikotomi kaum santri-abangan. Keduanya meamng sulit dipisahkan. Istilah santri-abangan tidak hanya menjadi teori klasifikasi mayarakat muslim di Jawa. Namun juga bisa menjadi penegasan adanya politik golongan.

Golongan santri dan golongan abangan pernah mewarnai intrik politik praktis di Indonesia. Pada pemilu 1955 misalkan, polarisasi sangat nampak pada keikutsertaan partai politik pada pemilu saat itu. Jurang pemisah golongan terlihat sangat jauh.
PNI (Partai Nasional Indonesia) diisi oleh kaum priyayi dangan masa pendukung paling banyak adalah abangan. Begitu juga PKI (Partai Komunis Indonesia) berisikan kaum abangan agrarir atau sering disapa kaum petani dan buruh.

Sedangkan NU dan Masyumi mewakili kaum santri. Masyumi yang dipimpin M. Natsir menggambarkan corak santri moderinis dan NU bercorak santri tradisionalis. Sedangakan Muhammadiyah, beberapa tokohnya seperti Buya Hamka dan Kasman Singodimedjo turut ambil dalam fraksi Masyumi.

Intrik politik antara kaum santri dan abangan sangat jelas. Kerapkali PKI dan Masyumi beradu argumen bahkan sentimen. Masyumi sering mengkritik habis-habisan ideologi komunis. Begitu juga PKI tak pernah mau mesra dengan garis besar arah poltik Masyumi. Walau ada upaya dari Soekarno untuk melerai kedunya melalui NASAKOM. Namun PKI dan Masyumi bak Palestina-Israel, sulit untuk berdamai.

Begitu dengan PNI dan Masyumi. Dalam siding konstituante 1957-1959, Natsir habis-habisan mengkritik PNI yang dianggap berupaya menjadikan Indonesia sebagai negara sekuler. Bahkan, fraksi masyumi menolak Pancasila dan menawarkan Islam sebagai dasar negara.

Peta pilitik berubah ketika memasuki masa Orde Baru. Melaui kebijakan Soeharto yang menyederhanakan partai politik dengan dalih kestabilan untuk pembangunan. Peserta pemilu hanya tiga partai yaitu PPP, PDI, dan Golkar.

Partai yang mengusung corak keislaman melebur menjadi PPP. Sedangakn partai yang mengusung paham Nasionlisme dan beberpa partai Kristen menjadi PDI. Soeharto sendiri membentuk Golkar. Kemudian pasca-Reformasi sistem politik menjadi multi partai.

Pemilu 2019 menjadi babak baru. Peristiwa seperti aksi 212 dan ijtama’ ulama seakan mewakili poltik kaum santri. Sedangakan PDI-P partainya wong cilik memang masih manjadi manifes dari corak politik kaum abangan.

Maka wajar jika ada argument bahwa penetapan hari santri nasional berpotensi memecah persatuan bangsa sebagaiman disampaikan oleh Din Syamsudin dan Haedar Nashir. Tentu itu adalah dampak terburuk. Namun minimal, dampak yang perlu diwaspadai bersama adalah mucul kembali sentiment politik golongan ataupun poltik aliran melaui polarisasi kembali santri-abangan.
Selamat hari santri nasional !

Aji Rustam

Jurnalis MPI PWM Jateng, Wartawan Seniour TribunJateng

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tidak bisa menyalin halaman ini karena dilindungi copyright redaksi. Selengkapnya hubungi redaksi melalui email.

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE