Kolom

Peran Sekolah di Era “Kebencian”

Oleh Hendro Susilo, KS SMA Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat Surakarta/ Sekretaris MPI Solo

FENOMENA berita yang memuat kebencian dan berbagai tindakan kekerasan akhir-akhir ini muncul di berbagai media.Beragam informasi dan komentar di media massa dan media sosial bertebaran baik yang faktual maupun yang hoax. Terlepas dari itu, sikap kedewasaan hidup bermasyarakat kita benar-benar sedang diuji.Faktanya, kebencian dalam bentuk tulisan,ucapan, bahkan perbuatan menjadi tontonan dan acapkali berubah menjadi tindakan kekerasan yang nyata.

Fenomena ujaran kebencian yang viral, tentu dilihat dan di dengar  pula oleh sebagian besar remaja usia sekolah.Terlebih, usia remaja sekolah adalah pengguna media sosial terbanyak. Seharusnya ini menjadi kewaspadaan kita bersama, jangan sampai generasi muda mendapatkan informasi yang salah.Kita khawatir remaja usia sekolah mendapatkan “pendidikan kekerasan” di media sosial tanpa pendampingan.

Fenomena ujaran kebencian, jelas melanggar nilai-nilai.Nilai agama dan nilai sosial terciderai oleh ujaran kebencian.Agama sangat jelas melarang umatnya menyebarkan kebohongan dan kebencian.Sehingga jelaslah, fenomena kebencian merupakan tanda-tanda degradasi moralitas dan religiusitas masyarakat.

fenomena “ujaran kebencian” ini menjadi tanggung jawab bersama. Semua unsur dalam masyarakat wajib menyikapi dan ambil peran untuk memberi solusi. Tokoh agama, wartawan, kepolisian, akademisi, guru,  sampai remaja siswa sekolah  dan sebagainya harus berkontribusi untuk mencegah bahaya dari ujaran kebencian.Terlebih, perkembangan teknologi informasi yang pesat, semakin memudahkan untuk menuliskan (chatting) berisi kebencian. Untuk itu, diperlukan usaha dari semua pihak untuk memperbaiki dan mengurangi dampaknya.

Pendidikan Nilai dan Literasi

Sekolah sebagai institusi pendidikan, ikut bertanggung jawab secara moral untuk mencerdaskan dan membangun kesadaran kritis siswanya. Terlebih, sebagian besar remaja usia sekolah sudah memegang gadget dan ber-media sosial. Gadget dan media sosial ini menjadi sarana empuk untuk menyebarkan ujaran kebencian.

Sebagai antisipasi dan solusi, Sekolah harus memperkuat pendidikan nilai serta mengembangkan budaya literasi kepada para siswanya. Tujuannya menanamkan karakter dan moralitas yang tinggi, serta mengembangkan wawasan, menumbuhkan sikap kritis dan teliti terhadap setiap informasi yang diterimanya. Jika sekolah berhasil menanamkan nilai-nilai dan budaya literasi, maka usaha itu akan membentengi generasi muda untuk menyikapi ujaran kebencian dengan bijak.

Kita tahu, arus globalisasi yang dahsyat saat ini membawa nilai-nilai baru, bahkan ujaran kebencian tidak jarang mengancam dan mengubah perilaku tatanan hidup bermasyarakat. Kemajuan teknologi lambat laun menggerus empati dan sikap sosial masyarakat. Ini tantangan bagi orang tua, guru, serta institusi yang bernama sekolah. Tantangannya bagaimana bisa melestarikan nilai-nilai religius, nilai moralitas dan menumbuhkan kesadaran kritis siswa.

Pendidikan harus menekankan pada pendekatan penanaman nilai, yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai religi dan sosial pada siswa. Ujaran kebencian mengandung hasutan, isinya tidak jarang tentang hujatan, caci maki, pembunuhan karakter, penipuan bahkan perselisihan. Nampaknya, Pendekatan analisis nilai perlu sekolah lakukan. Pendekatan analisis nilai ini lebih menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai sosial, serta memberikan pemahaman pada aspek nilai-nilai moral yang dapat diterapkan pada kehidupan sosial.

Pendidikan penanaman nilai ini juga perlu ditunjang oleh budaya literasi di sekolah. Sekolah harus memiliki strategi untuk membudayakan literasi pada siswanya. Budaya membaca buku dan menulis bagi siswa perlu ditingkatkan. Kecendrungan saat ini, sebagian besar dari remaja usia sekolah lebih senang ber-gadget dan membaca status di media sosial dibanding membaca buku. Ini sungguh memprihatinkan jika generasi muda sangat rendah dalam budaya literasi. Bagaimana nasib bangsa kita kedepan jika generasi sekarang lemah dalam budaya literasi? Berita ujaran kebencian dan hoax yang menyebar, mempengaruhi remaja usia sekolah dan akan mampu mempengaruhi dan mengubah tatanan masyarakat kita ke depannya.

Pendekatan Humanis Religius

Jika kita cermati fenomena ujaran kebencian, motif pelaku bisa bermacam-macam. Motif mencari uang, motif ideologi, motif politik, motif  kebencian, sampai motif iseng bisa terjadi. Intinya, apapun motif pelaku, ujaran kebencian mengandung unsur perendahan martabat manusia.Pelaku mengesampingkan nilai-nilai religi dan sosial untuk mencapai motif dan tujuannya. Isi ujaran kebencian  tak jarang pula berisi caci maki, pembunuhan karakter kelompok atau seseorang, kebencian, dan penipuan. Semuanya itu jelas sikap tidak menghargai eksistensi kemanusiaan.

Sikap merendahkan kemanusiaan akan merusak tatanan hidup berbangsa dan bernegara. Generasi muda perlu mendapatkan pendidikan yang mencerahkan, yang mampu menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Hak mendapatkan informasi yang benar dan bernilai menjadi hak mendasar masyarakat.

Sekolah sebagai institusi pendidikan, memiliki tanggung jawab moral untuk melestarikan nilai-nilai kemanusiaan. Untuk itulah, praktek pembelajaran di sekolah sebaiknya dilakukan dengan pendekatan humanis religius. Tujuan pendidikan religius itu untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral dan menyiapkan siswa untuk hidup sederhana dan bersih hati.

Pendekatan humanis religius ini bisa dipraktekan dalam kehidupan di sekolah. Sudah saatnya sekolah meninggalkan praktek mengancam, menakuti, menghukum secara fisik.Sekolah harus mengedepankan proses dialogis, harapannya siswa bisa belajar membangun kedisiplinan atas kesadaran sendiri, bukan karena paksaan. Proses dialogis yang diselimuti nilai-nilai religius seperti kejujuran dan menghargai mampu menyentuh sisi kemanusiaan pada diri siswa.

Usaha sadar yang dilakukan sekolah melalui pendidikan nilai, budaya literasi, dengan pendekatan humanis religius sangat strategis. Strategis nya adalah mampu memberikan sentuhan mendasar pada diri siswa untuk menguatkan moralitas. Sesungguhnya persoalan ujaran kebencian semua bermuara pada moralitas. Sekolah bisa ambil peran strategis terhadap ujaran kebencian yang meresahkan dengan mempersiapkan generasi muda yang cerdas, teliti dan kuat secara karakter sehingga tidak mudah terhasut berita ujaran kebencian dan hoax. (*)

Aji Rustam

Jurnalis MPI PWM Jateng, Wartawan Seniour TribunJateng

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close

Tidak bisa menyalin halaman ini karena dilindungi copyright redaksi. Selengkapnya hubungi redaksi melalui email.

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE