Kolom

MENGURAI BENANG KUSUT POLITIK UANG

Oleh Fathin Hammam, Direktur LeNTera -Lembaga Nalar Terapan) Tegal dan Aktifis Muhammadiyah

Pada awalnya bermula dari diskusi di dunia maya, mengomentari status FB nya Abdullah Sungkar (Politisi senior Kota Tegal) yang isi statusnya seperti ini : “Saya tidak akan memilih calon kepala daerah yang terdengar menyuap pemilih dengan money politik. Jika semua melakukan, maka kertas suara saya lipat saya masukkan tanpa coblos. Fatwa mui jelas, bahwa money politik bagian dari risywah atau suap yang hukumnya Haram bagi pemberi,penerima,dan perantaranya. Ini upaya cegah korupsi jika salah satu dari mereka terpilih. (14 Februari 2018)

Gayung bersambut, ada beberapa yang ikut berkomentar, diantaranya Bambang Sadono (anggota DPD RI dari Jateng), yang menyatakan bahwa soal money politik adalah persoalan kronis dan serius, terlebih bagi warga Tegal yang dua kali kepala daerah nya terkena kasus KPK, maka beliau menawarkan diri untuk kopi darat (kopdar) untuk mendiskusikan soal money politik, maka pada rabu malam kamis, 14 Februari 2018 dengan persiapan hanya 5 jam dengan di fasilitasi Saunan Rasyid dan teman teman aktifis LeNTera maka berlangsunglah diskusi yang di ikuti oleh berbagai aktifis dari bermacam latar belakang, bertempat di hotel Pesona Tegal.

Beberapa pemikiran dari diskusi yang sangat menarik ini, saya coba bagi lewat tulisan ini. Salah satu problematika akut yang selalu muncul, terutama berkaitan dengan proses pemilihan pemimpin mulai dari pilkades, pileg dan pilkada adalah “politik uang” , politik uang disini dalam pengertian, membeli suara dengan uang. Sekalipun sudah banyak pihak yang melarangnya, mulai dari fatwa MUI,ormas ormas Islam sampai aturan Panwas, akan tetapi politik uang atau money politik seakan menjadi hal yang dianggap wajar, umum bahkan sebagian menganggapnya sebagai budaya yang tak mungkin dihentikan. Maka di kalangan masyarakat awam lahir istilah NPWP (No Piro Wani Piro), Wangsit (Uang disit), Berjuang (Beras baju uang).

Dari berbagai kisah nyata dilapangan yang diungkapkan oleh politisi yang aktif dan yang sudah non aktif, nilai nominal harga suara semakin kesini semakin tinggi, setiap daerah berbeda tarifnya, cara yang digunakan pun semakin rapi, sehingga ada istilah, politik uang itu ibarat, maaf… “kentut” , tidak berwujud tapi dapat dirasakan.

Persoalan inilah yang harus menjadi keprihatinan bersama, sebab dari money politik ini, melahirkan dampak negatif yang sangat sistemik, tak mengherankan jika sampai saat ini sudah ada 300 san lebih pejabat kepala daerah yang ditangkap KPK karena kasus suap dan korupsi, (diantaranya dari kota tegal) , salah satu faktor utamanya ditengarai menyangkut biaya politik yang sangat tinggi akibat dari politik uang.

Jika di urai secara mendalam, maka problem money politik ini lahir dan berkembang disebabkan beberapa faktor, antara lain : lemahnya hukum dan sanksi d yang melarang politik uang, tidak adanya ketegasan aparat dalam penegakan hukum, belum adanya kampanye yang massif dan massal tentang larangan money politik, sampai sikap masyarakat sendiri yang cenderung apatis dan melakukan pembiaran.

Melihat problem seperti ini, maka solusinya adalah dibutuhkan gerakan civil society yang terus menerus menyuarakan , istilah sekarang, menviralkan bahaya politik uang bagi kehidupan berbangsa dan bernegara baik dari sudut pandang agama ataupun hukum yang berlaku. Langkahnya bisa dimulai dari memberi pencerahan lewat pemuka agama,tokoh ormas, mimbar mimbar khutbah di masjid, forum pengajian, medsos dan berbagai media lainnya.

Jalan untuk melakukan perubahan ada dua cara, yaitu melakukan perubahan secara gradual atau bertahap dengan melakukan pencerahan kepada semua pihak secara sedikit demi sedikit atau pilihan kedua adalah dengan cara “revolusi yang radikal” yaitu gerakan civil society yang massif dan terus menyuarakan secara lantang larangan money politik apapun bentuknya dan sekecil apapun.

simpulannya, semua peserta diskusi sepakat, bahwa politik pada dasarnya bersih dan mulia, karena bertujuan untuk memberi kebaikan dan kesejahteraan masyarakat, tapi praktek politik uang itu merusak tatanan dan mental baik bagi calon pemimpin atau pemilihnya itu sendiri. Maka proses pencerahan, penegakan hukum dan gerakan kampanye menolak politik uang harus terus di gelorakan terutama oleh civil society termasuk rekan rekan jurnalis, sekecil apapun yang bisa kita lakukan, maka lakukanlah demi kebaikan dan perbaikan masa depan. Sejalan dengan moto kami di LeNTera, yaitu..”Lebih baik menyalakan lentera daripada memaki kegelapan”

Di antara yang hadir pada diskusi LeNTera pada Rabu, 14 Feb 2018 di Hotel Pesona Tegal ,antara lain ; Bambang Sadono (DPD RI), Abdullah Sungkar (Politisi Kota Tegal),Saunan Rasyid (LeNTera & Manager Hotel Pesona(, Thoha Faz (LeNTera & Penulis Matematika Detik), Fathin Hammam ( LeNTera & Muhammadiyah Kab Tegal ), Atmo Tan Sidik (Lesbumi PCNU Kota Tegal), Muanas (LHKP Muhammadiyah Kab Tegal), Lanang Setiawan (Sastrawan), Udin Zen Mahboeb (Mantan anggota Dewan), Tanuri (Mantan dewan) Zaenal Abidin MK (Bisnisman), Teguh Puji Harsono (Ktua Mastejo -Masyarakat Tegal Jogja), Gus mun , Warsono (Aktifis Muda) , Nindra (aktifis).

Aji Rustam

Jurnalis MPI PWM Jateng, Wartawan Seniour TribunJateng

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close

Tidak bisa menyalin halaman ini karena dilindungi copyright redaksi. Selengkapnya hubungi redaksi melalui email.

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE