Kolom

GURUKU PAHLAWANKU

Oleh Hayati Nufus
MIM Bloran Kerjo, Karanganyar
Kenapa tidak ada yang meminum minuman bekas Pak Kiai?” Spontan kami menoleh memandang ke arah suara, sosok anggun bu nyai  tersenyum hangat menatap kami.. Lalu kami bertiga saling berpandangan malu-malu. “Boleh Bu?” tiba-tiba kami merespon berbarengan tanpa dikomando.
“Boleh…,” jawab bu nyai,  “Minumlah Nak biar kalian mendapatkan barokahnya”.
Kami lalu dengan senang hati  meminumnya bergantian.
Sore itu, di penghujung tahun 1990, saya dan dua orang teman mengunjungi pak kiai di rumahnya yang teduh. Kami mendapatkan  wejangan dan nasehat sebagai santri kelas akhir sebelum kami meninggalkan pondok. Ketika pak kiai selesai dengan nasehatnya dan beranjak dari kursinya, kami pun siap untuk beranjak. Kalimat itulah yang kami dengar dari bu nyai ketika kami pamit,  bu nyai melihat gelas minum pak kiai masih setengah isi.
Relasi yang terbangun antara kiai, para guru (asatidz) dengan  santri di pondok pesantren layaknya seperti orangtua dengan anaknya. Kiai dan guru diperlakukan dengan sangat hormat dan mulia. Ucapannya didengarkan,   nasihat dan perintahnya dipatuhi, bahkan remah-remah bekas makanannya pun jadi rebutan. Pembangkangan pada kiai maupun guru oleh santri adalah kesalahan yang fatal, yaitu suul khulq(akhlak buruk). Pelakunya bisa dikenakan sanksi berat bahkan sampai dikeluarkan dari pondok.
“Sesungguhnya guru dan dokter tidak akan memberi nasihat bila mereka tidak dimuliakan. Begitu nasihat bijak  ditanamkan pada santri tentang keharusan memuliakan kiai dan guru. “Maka bersabarlah dengan penyakitmu bila kamu hina dokter dan bersabarlah dengan kebodohanmu bila kamu jauhi guru.”  Maka dengan guru, sikap santri itu sama seperti sikap pasien terhadap dokternya; sami’na wa atho’na ( patuh  tanpa reserve). Bahwa dokter dengan nasihatnya adalah wasilah pemyembuhan bagi penyakit yang dideritanya. Begitu pula  santri terhadap kiai ketika menuntut ilmu, ia seperti berhadapan dengan seorang dokter yang akan mengobati penyakit kebodohannya.
Budaya pesantren  dalam menjaga akhlak dan adab  bermuamalah dengan guru dan kiai  tidak terlepas dari world view (pandangan hidup) yang mengakar pada kehidupan pesantren pada umumnya. Sebuah kitab yang sangat populer di kalangan pesantren yaitu Ta’lim Mutaallim menjadi referensi yang masih relevan diajarkan dalam  pendidikan karakter pada santri. Intisari kitab itu adalah panduan bagi santri dan guru dalam mencari ilmu untuk memperoleh hal-hal berikut  ini:
1. Setting niat yang benar untuk meraih ridho Allah.
2. Memperoleh as saadah (kebahagiaan) dunia dan akhirat.
3. Memerangi kebodohan
4.melestarikan ajaran Islam.
Nilai-nilai spiritual di pondok pesantren  sangat kental  mengharmonikan hubungan guru dan murid dalam interaksi pembelajaran , sehingga tidak heran  tertanam keyakinan yang kuat bahwa keberkahan ilmu seorang santri hanya akan tercapai bila gurunya ikhlas dan ridho padanya.
GURU BUDI
Tragedi kemanusiaan yang menimpa seorang guru honorer dari Sampang yaitu guru Budi telah menohok kesadaran kita sebagai pendidik tentang satu pertanyaan besar,  “Ada apa dengan pendidikan kita?” Pendidikan kita saat ini mengalami loss of adab (hilangnya adab) meminjam istilah Syed Muhammad Naquib al- Attas.  Kasus yang terjadi pada guru Budi adalah fenomena gunung es wajah pendidikan kita,  masih banyak kasus-kasus lain yang menunjukkan tentang belum efektifnya (untuk tidak menyebutnya gagal) pendidikan karakter  yang ditanamkan pada subjek didik kita.
Akronim bahwa guru adalah sosok yang digugu dan ditiru seperti jauh panggang dari api. Guru tidak lagi menjadi sosok yang dihormati, dihargai dan dipatuhi. Tulisan ini tentu terlalu sederhana untuk memberikan solusi tentang problematika pendidikan kita saat ini, namun demikian menurut hemat penulis sebagai pendidik kita perlu merekonstruksi world view kita tentang mendidik yaitu tidak hanya berpusat pada upaya mencerdaskan otak subjek didik maupun meningkatkan kemampuan skill dan intelektualnya ansich. Tetapi yang terpenting adalah menjadikannya menjadi manusia yang beradab.
Pendidikan adab digagas ilmuan kontemporer Syed Muhammad Naquib al-Attas. Adab atau ta’dib dari masdar addaba dalam tiga derivasinya adiib, ta’dib, muaddib kesemuanya saling berkaitan. Seorang pendidik(muaddib), adalah orang yang mengajarkan akhlak, kesopanan, pengembangan diri atau suatu ilmu (ma’rifah) agar anak didiknya terhindar dari kesalahan ilmu, menjadi manusia yang sempurna (insan kamil) sebagaimana dicontohkan dalam pribadi Rosulullah (Kholili Hasib, 107). Dalam hadist yang diriwayatkan Ibnu Mas’ud Rosulullah memaknai kata mendidik dengan addaba, Addabaniy Rabby fa ahsana ta’diby (HR. Al-Sam’ani).
 Belajar dari Musa dan Khidir
Ketika nabi Musa berguru kepada Nabi Khidir, dia diberi persyaratan untuk patuh dan taat tanpa bertanya-tanya apa yang diperbuat gurunya. Tujuannya adalah, agar sang murid tidak merasa lebih pandai dari gurunya  dan mampu mengendalikan diri untuk bersabar mengikuti proses pembelajaran. Kisah ini diabadikan dalam surat Al-Kahfi (Q.S. 18: 60-82) yang  menjadi inspirasi hubungan murid dengan guru.
Dikisahkan dalam surat itu seperti dijelaskan dalam  Tafsir Ibnu Katsir bahwa ketika Nabi Musa berada di majlis Bersama umatnya dari Bani Israil, salah seorang dari mereka bertanya, “Adakah orang yang lebih pintar dari Musa? Musa pun menjawab tidak ada.
Musa pun ditegur oleh Allah dan diberitahu bahwa ada orang yang lebih pandai dari dia. Ketika Musa ingin menjumpainya, Allah menyampaikan bahwa orang itu berada di pertemuan dua laut.
Singkat cerita dikisahkan tentang dialog  Nabi Musa dengan Khidir.  Nabi Musa dengan penuh kerendahan hati, bahasa yang sopan dan halus  meminta pada Khidir untuk mengajarinya.
Khidir menyangsikan kemampuan Nabi Musa untuk dapat bersabar dan tidak bertanya apa yang dilakukan olehnya sampai tiba saatnya ia yang akan menjelaskannya. Nabi Musa menyetujui syarat itu dan  akan menjadi murid yang patuh dan sabar.
Pada perjalanannya ternyata Nabi Musa tidak cukup sabar untuk tidak bertanya tentang hal-hal yang menurutnya ganjil  dilakukan gurunya,  Khidir. Tiga hal itu adalah;
1. Khidir membocorkan dan menenggelamkan perahu.
2. Khidir membunuh seorang bocah.
3. Khidir membetulkan dinding rumah tanpa meminta upah di sebuah kampung, padahal penduduk kampungnya itu sangat tidak ramah dan bersahabat pada mereka.
Pelajaran adab yang bisa kita petik yaitu:
Pentingnya menanamkan niat yang benar dalam menuntut ilmu untuk mencari ridho allah, niat yang lurus karena Allah akan menuntun murid menjadi rendah hati dan menyadari kebodohan dirinya di hadapan gurunya.
Sopan santun dan perkataan yang halus sangat diutamakan dalam berkomunikasi dengan guru sebagai tanda ihtiroman (penghormatan) kepada guru dan ilmunya.
Kisah ini juga mengajarkan tentang keharusan murid untuk bersabar terhadap proses pendidikan yang diajarkan oleh gurunya. Kesabaran seorang murid merupakan salah satu adab yang harus dimiliki murid terhadap gurunya, bahwa Pendidikan yang baik tidaklah instan tetapi butuh proses dan waktu. Seperti dijelaskan oleh  Syaikh M. bin Shalih al-Utsaimin rohimahullah “seorang murid hendaklah tidak terburu-buru membantah penjelasan gurunya, hendaklah ia menunggu sampai penjelasannya tuntas baru bertanya.
Itulah beberapa adab yang bisa kita sarikan dari perjalanan Nabi Musa dan Khidir.
Disamping kisah di atas kitab Ta’lim Mutaallim menurut penulis sangat layak untuk dikaji oleh siapa saja yang berkepentingan terhadap pendidikan dan outputnya.
Kerjo 26 Maret 2018

Aji Rustam

Jurnalis MPI PWM Jateng, Wartawan Seniour TribunJateng

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tidak bisa menyalin halaman ini karena dilindungi copyright redaksi. Selengkapnya hubungi redaksi melalui email.

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE