Kolom

Cerita-cerita Pengubah Stigma Warga Muhammadiyah

Oleh Roynaldy Saputro, Guru dan pegiat literasi

TULISAN ini terinspirasi dari dua tulisan yang dimuat majalah Suara Muhammadiyah edisi 4 bulan Februari 2017. Sengaja penulis ulas kembali guna menghadirkan bacaan kepada warga Muhammadiyah yang belum sempat membaca dua cerita tersebut.

Secara umum stigma yang berkembang di masyarakat, terutama dalam tataran grass root menyatakan bahwa hubungan K.H. Ahmad Dahlan dan K.H Hasyim Asy’ari tidak terlalu intim. Yang kedua adalah tentang K.H. Ahmad Dahlan yang tidak mempunyai kemampuan literasi atau semasa hidupnya gerakannya lebih mengutamakan gerakan aksi dengan aksi-aksi sosial dan keagamaannya. Yang ketiga adalah hubungan NU dan Muhammadiyah, dua organisasi yang didirikan masing-masing oleh K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Ahmad Dahlan.

Lantas apakah kita harus mengakui kebenaran dengan pernyataan diatas? Tentu tidak harus, pernyataan tersebut kemudian dibantah oleh beberapa penemuan yang mencoba dihadirkan oleh penulis-penulis di majalah Suara Muhammadiyah edisi 4 bulan Februari 2017. Pendi Purwa yang menulis tentang Dahlan, Hasyim, dan Basyir. Mua’rif yang menulis tentang K.H. Ahmad Dahlan “Bukan Penulis Prolifik”. Dan yang ketiga tentang realita bahwa NU dan Muhammadiyah saling bersinergi di beberapa daerah. Apa yang dihadirkan oleh kedua penulis tersebut menjadi bahan pertimbangan yang bisa mengubah pandangan kita tentang pernyataan-pernyataan negatif yang belum tentu ada buktinya. Dan untuk lebih jelasnya akan penulis paparkan secara singkat tentang ketiga hal tersebut dibawah ini.

Kedekatan K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari

Dalam tulisan Pendi Purwa di halaman 38-39 yang berjudul “Dahlan, Hasyim, dan Basyir” ada cerita ketika terjadi dialektika antara Hasyim Asy’ari dan santrinya. Percakapan itu dimulai dari pernyataan santrinya bahwa di kampung Kauman (tempat tinggal K.H. Ahmad Dahlan) ada seorang kiai yang baru pulang dari Makkah akan tetapi membuat gerakan/sesuatu yang aneh. Lantas Kiai Hasyim bertanya “siapa namanya?”. Santrinya pun menjawab “Ahmad Dahlan, Kiai”. Lantas Kiai Hasyim Asy’ari menanyakan ciri-cirinya. Dan sangat tepat ternyata kiai tersebut adalah Ahmad Dahlan, yang juga beliau kenal. Di akhir percakapan tersebut Hasyim Asy’ari menasihati santrinya bahwa apa yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan ada dasarnya. Sehingga beliau meminta santrinya tidak memusuhi. Justru sebaliknya, beliau meminta santrinya untuk membantu K.H Ahmad Dahlan.

Perkenalan Kiai Hasyim Asy’ari dengan K.H. Ahmad Dahlan memang terkenalnya ketika di Makkah, saat mereka berada di satu majelis dan pengajian-pengajian Syaikh Khatib al-Minangkabawi. Akan tetapi ketika di Semarang pun mereka sebenarnya sudah saling mengenal, yaitu ketika mondok di Kiai Saleh Darat Semarang. Kiai Dahlan dan Kiai Hasyim tinggal satu kamar selama dua tahun. Selama dua tahun pula kedekatan mereka terjalin dimulai dari panggilan, Kiai Dahlan memanggil Kiai Hasyim Asy’ari dengan panggilan “dimas”, sedangkan sebaliknya memanggil “kangmas”. Mereka sering makan berdua, berfastabiqul khairat dalam keilmuan berdua, bahkan tak jarang adu argumen dan adu keilmuan pun mereka lakukan.

Seperti itulah kedekatan dua pendiri organisasi masyarakat terbesar Indonesia yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Kedekatan pendiri yang perlu kita renungi kembali dalam kehidupan sehari-hari.

K.H. Ahmad Dahlan Tokoh Literasi

Sulitnya menemukan karya orisinal K.H. Ahmad Dahlan memang diakui banyak pihak, yang memberikan penilaian bahwa gerakan beliau fokus pada gerakan aksi amar ma’ruf nahi munkar (red: Muhammadiyah) tanpa mementingkan konsep yang dikemas dalam sebuah karya tulisan. Kekuatan literasi yang lemah dan tidak seperti tokoh-tokoh nasional lain yang menulis pemikirannya di sebuah karya buku menjadi penilaian sendiri kepada K.H. Ahmad Dahlan. Akan tetapi dalam tulisan Mu’arif di halaman 42-43 yang berjudul “Kiai Ahmad Dahlan: Bukan Penulis Prolifik” mengungkapkan bahwa akhir-akhir ini pernyataan tentang kelemahan literasi K.H. Ahmad Dahlab mulai bisa dibantah.

Walaupun sebenarnya dalam perjalanan organisasi Muhammadiyah, beberapa pemikiran K.H Ahmad Dahlan dibukukan. Akan tetapi itu merupakan tulisan orang lain, seperti “Pelajaran K.H. Ahmad Dahlan 7 Falsafah Ajaran dan 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an” karya K.R.H Hadjid yang diterbitkan oleh Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat (MPI PP) Muhammadiyah. Lalu ”Catatan tentang Kiai Haji Ahmad Dahlan” karya Kiai Syuja’. Serta terbitan-terbitan lain, yang merupakan tulisan orang lain tetapi yang ditulis adalah pemikiran K.H. Ahmad Dahlan semasa hidup.

Menurut Mu’arif, bermula dari buku Charlez Kurzman sekitar 15 tahun yang lalu dengan judul “Modernist Islam: A Sourcebook” (Oxford University Press, 2002). Kurzman menelaah pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dari naskah pidato berjudul ”Tali Pengikat Hidup Manusia”. Naskah tersebut didapatkan Kurzman dari Abdul Munir Mulkhan. Hal ini merupakan awal mula yang mengindikasikan bahwa K.H. Ahmad Dahlan juga mahir dalam menulis.

Penemuan lebih lanjut menurut Mu’arif ditemukan oleh Pusdalit Suara Muhammadiyah. Berawal dari penemuan dokumen Suara Muhammadiyah edisi 2 tahun 1915 oleh Kuntowijoyo di perpustakaan Leiden Belanda. Naskah yang awalnya bertuliskan aksara Jawa, ketika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia ada penulis yang menggunakan istilah “HAD”. Menurut H. Ahmad Basuni, istilah HAD adalah sosok Haji Ahmad Dahlan.

Hal ini ditegaskan manakala tahun 2016 ditemukan dokumen SM di Bukittingi terbitan 1916 ada penulis menggunakan istilah HAD. Saya sendiri juga meyakini bahwa penulis tersebut adalah K.H. Ahmad Dahlan. Kini sudah waktunya pernyataan bahwa K.H. Ahmad Dahlan hanya beraksi tanpa berliterasi dibantah oleh kader-kader Muhammadiyah dan dilakukan penelitian secara masif terhadap penemuan-penemuan tersebut.

Hubungan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah

Di lingkungan masyarakat ataupun di media sosial memang sekarang banyak perbedaan gerakan dan pandangan antara Muhammadiyah dan NU. Dalam konstelasi politik yang memasuki waktu penentuan mau dibawa ke arah mana negara kita. Masing-masing dari pihak internal organisasi masyarakat tersebut mempunyai pandangan yang berbeda. Jikalau NU ingin sekali mengutus kadernya berada di pemerintahan eksekutif (cawapres), maka lain lagi dengan Muhammadiyah. Pernyataan tentang siapapun presiden dan wakilnya, Muhammadiyah akan terus berfastabiqul khairat. Hal ini mengindikasikan bahwa Muhammadiyah tidak akan ikut terjun dalam politik praksis dan fokus pada gerakan kemasyarakatan.

Walaupun berbeda pandangan, NU dan Muhammadiyah tetap harmonis. Hal yang perlu dicermati oleh masing-masing warganya di tataran grass root adalah saling bersilaturahim ke pusat dakwah masing-masing organisasi menjadi penyejuk. Apalagi akhir-akhir ini di beberapa daerah NU dan Muhammadiyah bersinergi. Seperti yang dilakukan di daerah Jepara, yang masing-masing pimpinan daerah Muhammadiyah dan NU-nya mengadakan Halal Bihalal beberapa tahun terakhir ini. Sungguh pemandangan yang baik bagi keberlangsungan dakwah agama Islam di Indonesia.

Seperti itulah tiga cerita yang penulis hadirkan, semoga tulisan yang terinspirasi dari penulis lain ini, mampu mengubah pandangan kita terhadap tiga hal tersebut. (editor/Tuti Astha3)

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close

Tidak bisa menyalin halaman ini karena dilindungi copyright redaksi. Selengkapnya hubungi redaksi melalui email.

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE